JEJARING toko buku besar yang sangat populer di Indonesia—meskipun jenamanya tidak lagi menyebut toko buku—tiba-tiba memberlakukan kebijakan khusus. Sontak para penerbit yang menyalurkan bukunya di sana bereaksi.
Kebijakan itu adalah penyajian kover belakang yang harus mencantumkan 1) alamat lengkap penerbit; 2) kategori grup sesuai dengan standar grouping toko buku; 3) jenjang usia pembaca; 4) ISBN; dan 5) Â harga buku untuk Pulau Jawa.
Kebijakan baru toko buku ini tidak terlepas dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan (Sisbuk). Di dalam Pasal 30 UU Sisbuk memang termuat kewajiban pencantuman informasi tersebut. Sulit bagi penerbit untuk menghindari ketentuan itu, apalagi jika turut diberlakukan oleh jejaring toko buku besar.
Fenomena yang terjadi di penghujung Desember 2017 ini menjadi pengantar dalam Catatan Refleksi Perbukuan Nasional 2017 yang ingin saya sampaikan. Tahun 2017 sebenarnya menjadi tahun penting bagi titik ungkit dunia perbukuan Indonesia yang mengalami stagnasi pertumbuhan dalam satu dekade ini.
Catatan ini saya buat agak Panjang. Berikut ini alasan-alasan terkait opini saya bahwa tahun 2017 adalah titik ungkit bagi dunia perbukuan nasional.
Pertama bahwa pada 2017 UU Sisbuk diberlakukan, tepatnya tanggal 29 Mei 2017 telah ditandatangani Presiden Jokowi. Dengan demikian, dunia perbukuan Indonesi telah memiliki dasar hukum yang tertinggi dalam penyelenggaraannya. Salah satu poin penting adalah disebutkannya hak dan kewajiban para pelaku perbukuan, yaitu penulis, penerjemah, penyadur, editor, ilustrator, desainer, penerbit, pencetak, toko buku, dan pengembang buku elektronik.
UU Perbukuan sejatinya telah lama diperjuangkan. Bahkan, 41 tahun lalu (1975), Ajip Rosidi, Ketua Ikapi masa itu mengangkat gagasan perlunya Indonesia memiliki UU Buku di depan Parlemen (DPR) RI. Tahun 1995, saat berlangsung Kongres Perbukuan Nasional I, UU Perbukuan kembali direkomendasikan kepada pemerintah untuk diundangkan.
Kedua bahwa pada tahun ini untuk kali pertama Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia (Penpro) mendapatkan registrasi Standar Kompentensi Kerja Khusus untuk Penulis Buku Nonfiksi dan Editor. Artinya, untuk kali pertama dunia perbukuan Indonesia memiliki standar kompetensi yang menjadi dasar sertifikasi profesi perbukuan. Di samping itu, Ikapi juga untuk kali pertama mengadakan prakonvensi dan konvensi SKKNI untuk jabatan kerja Ahli Penerbitan Buku yang diinisiasi bersama Kemenkominfo. Ikapi mendorong penerbit sebagai profesi juga disertifikasi.