Catatan Refleksi Perbukuan Nasional 2017

Photo Author
- Kamis, 11 Januari 2018 | 04:40 WIB

Ada 60 juta buku yang diperlukan. Jika rata-rata 1 judul buku dicetak 6.000 eksemplar, ada 10.000 judul buku yang diperlukan. Pada tahun 2015, riset Ikapi menyebutkan ada sekira 30.000 judul buku yang diterbitkan setiap tahun. Data dari Perpusnas RI pada tahun yang sama menyebutkan ada sekira 42.000 judul buku yang mendapatkan ISBN (International Standard Book Number). Jumlah ini tentu minim sekali jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia.

Penulis senior yang terus menulis buku dan para penulis pendatang baru yang langsung eksis juga membuktikan dari kalangan artisan (perajin) perbukuan ada para penyintas yang tetap berkarya. Banyak penulis yang tetap optimistis menulis buku dan mengejar mimpi best seller walaupun kadang-kadang sebutan best seller itu hanya sebagai pelipur lara.

Di tengah upaya menjaga semangat berkarya, tak urung soal pajak royalti (PPh) penulis pada 2017 ini juga “memanas” kembali. Adalah novelis Tere Liye yang mengumumkan dirinya telah menghentikan kerja sama alias tidak akan mencetak ulang lagi buku-bukunya di beberapa penerbit sebagai bentuk protes terhadap pemberlakuan pajak royalti yang menurutnya sangat besar.

Wajar jika seorang Tere Liye “berteriak” soal pajak sampai se-Indonesia gempar dan Menkeu Sri Mulyani turun tangan. Royalti seorang TL konon telah mencapai miliaran rupiah setahunnya. Persentase pajak yang besar tentu sangat berasa ketika diberlakukan.

Di dalam UU Sisbuk, pemerintah juga telah melihat persoalan ini. Pada Pasal  35 ditegaskan wewenang pemerintah untuk dapat memberikan insentif fiskal untuk pengembangan perbukuan. Kini kalangan perbukuan berharap insentif fiskal yang dapat diberikan adalah pengurangan pajak untuk penulis atau pelaku perbukuan lainnya dan penghapusan PPN seluruh jenis buku.

Buku Cetak Masih “Seksi” dan Belum Tergantikan

Buku yang berfungsi sebagai media pengetahuan, informasi, dan hiburan pada kenyataannya masih “seksi” (baca: menarik) dan belum tergantikan media lainnya. Walaupun ada pengembangan ke buku elektronik, masyarakat kita masih akrab dengan buku cetak.

Pencetak atau sering disebut percetakan masih banyak menggantungkan usahanya dari pencetakan buku-buku, baik skala kecil maupun besar. Tumbuhnya self publisher atau penerbit mandiri juga turut menghidupkan usaha-usaha percetakan kecil dan menengah, termasuk print on demand. Para penerbit mandiri itu masih menjadikan buku cetak sebagai perwujudan karya yang nyata—tidak terlalu tertarik mengambil jalan buku elektronik.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: agung

Tags

Rekomendasi

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB
X