Mereka adalah Lingga Ardiansyah (17) dan Olivia Dwi Lestari (17), dua remaja kelas X Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 9, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Di usia itu, mereka seharusnya sudah duduk di bangku kuliah, tetapi kehidupan memaksa mereka untuk berkompromi dengan pekerjaan dan hal-hal lain yang membuat hak-hak atas pendidikan baru bisa mereka dapatkan di tahun ini.
Olivia menjadi satu-satunya anak perempuan yang bersekolah di keluarganya. Sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara, ia punya harapan besar untuk mengangkat perekonomian mereka yang selama ini terseok-seok.
Baca Juga: Daftar 10 Pesepakbola Pria Terbaik Tahun 2025, Siapa Saja?
Ayah Olivia bekerja sebagai buruh bangunan harian, sedangkan sang ibu merupakan ibu rumah tangga. Kakak laki-lakinya berusia 19 tahun, yang kini bekerja serabutan dan tidak bisa melanjutkan sekolah karena tuntutan ekonomi.
Bahkan ketika ditanya wartawan Olivia tak kuasa menahan air mata, menjawab nya, pengalamannya mengalami perundungan di salah satu SMP bilangan Jakarta Timur. Pengalaman itu sangat pahit baginya, sehingga ia tak kuasa menceritakannya kembali kepada orang lain. Hal tersebut semakin memilukan, ketika permasalahan ekonomi menjadi salah satu faktor mengapa ia direndahkan oleh teman-temannya.
Namun, nyala di hatinya tidak meredup begitu saja. Hampir menyerah karena ia terlambat mendaftarkan diri ke SMA, sempat terbersit di kepala Olivia untuk mencari pekerjaan saja dan membantu keluarganya keluar dari jerat kemiskinan.
Keberuntungan rupanya masih berpihak pada remaja perempuan itu. Salah seorang tetangganya memberi kabar kepada petugas dinas sosial yang sebelumnya melakukan survei di lingkungan rumahnya bahwa Olivia punya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Rakyat.
Meski mengalami pengalaman perundungan yang cukup traumatis, motivasinya untuk tetap melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi tak lantas menurun. Ia ingin membuktikan bahwa setiap kata-kata yang merendahkan baginya justru menjadi anak panah yang akan ia lempar dengan busur untuk lebih berprestasi lagi.
Di Sekolah Rakyat, ia menemukan ruang aman itu. Teman-teman yang menyambutnya dengan tangan terbuka, pelukan hangat, dan para guru yang sabar mendengarkan ceritanya membuat ia merasa menjadi bagian penting dalam lingkungan pendidikan yang mendukungnya untuk belajar dengan tenang.
Hobi menari dan bermain pianika akhirnya dilihat sebagai potensi besar oleh guru-gurunya di SRMA 9. Ia menjadi salah satu siswa yang mewakili sekolahnya untuk bermain marching band di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, pada perayaan Hari Disabilitas Internasional 2025 di awal Desember lalu.
Baca Juga: Ndarboy Genk Gandeng Dompet Dhuafa Salurkan Donasi Ngamen untuk Sumatra
Kisah 2 Siswa Sekolah Rakyat, Dulu Dirundung Sampai Trauma Kini Ukir Prestasi
Kepercayaan diri Olivia tumbuh setelah masuk Sekolah Rakyat, tampil di depan Menteri Sosial. Rahmat Junaedi mengalami trauma dibully secara verbal dan fisik, tapi kini percaya diri wakili sekolah.
Kondisi tersebut membuat Rahmat sempat menutup diri bahkan tidak mau keluar rumah beberapa hari. Hal tersebut juga membentuk kepribadian Rahmat jadi tertutup.
"Saat masuk SMP saya udah lumayan capek kan karena jauh dari rumah. Saya enggak main, terus di SMP saya cuma ngikut pelajaran, pulang, ngikut pelajaran, pulang. Nah niatnya saya mau masuk SMK, tapi karena ditawari ini (SR), dijelasin dari awal boarding school dan jauh juga dari rumah, saya mikir ini mungkin udah waktunya saya berubah menjadi lebih baik," katanya.