KRJogja.com - Yogyakarta — Biennale Jogja 18 Babak II resmi dibuka pada Sabtu sore (5/10) di Kampoeng Mataraman, Yogyakarta. Mengusung tema “KAWRUH: Tanah Lelaku”, edisi ke-18 dari perhelatan seni dua tahunan ini menjadi lanjutan dari Biennale Jogja 17 (2023) yang masih berada dalam lintasan tema besar Translokalitas dan Transhistorisitas dalam Seri Khatulistiwa Putaran Kedua.
Tim kuratorial yang terdiri dari Bob Edrian (Jakarta), Eva Lin (Taiwan), dan ketjilbergerak (Yogyakarta) menghadirkan konsep KAWRUH—sebuah istilah Jawa yang bermakna pengetahuan hasil olah akal budi dan pengalaman hidup. Dalam konteks Biennale Jogja 18, Kawruh dipahami sebagai praktik seni yang tumbuh dari kebijaksanaan lokal dan hubungan harmonis antara manusia, alam, serta komunitas.
Direktur Biennale Jogja, Alia Swastika, menjelaskan bahwa Babak II ini menjadi bagian penting dari perjalanan panjang Biennale dalam membangun hubungan yang lebih mendalam dengan masyarakat lokal.
Baca Juga: Pagelaran Seni Rupa Siti Adiyati: Dari Lorong Rasa hingga Proses Penciptaan Semesta
“Kami ingin menjaga hubungan jangka panjang dengan warga di mana kami bekerja, menjadikan seni sebagai bagian dari kebijakan sehari-hari,” ujarnya.
Alia juga menegaskan pentingnya menghindari pola kerja seni yang bersifat hit and run. Oleh karena itu, Biennale Jogja terus memperkuat kolaborasi dengan dua desa utama, yaitu Panggungharjo dan Bangunjiwo, yang sebelumnya juga menjadi lokasi penyelenggaraan dua tahun lalu.
Babak II Biennale Jogja 18 berlangsung pada 5 Oktober–20 November 2025, di tiga titik lokasi: Kota Yogyakarta, Desa Panggungharjo, dan Desa Bangunjiwo. Lebih dari 60 seniman dari berbagai daerah dan negara turut berpartisipasi, menjadikan acara ini sebagai ruang pertemuan antara seniman dan komunitas lokal untuk menelusuri jejak lanskap, tradisi, serta kesadaran ekologis dan sosial.
Salah satu kurator Biennale 18, Greg Sindana, menilai kegiatan ini menjadi momen penting bagi warga desa.
Baca Juga: Keren, Robot Humanoid di China Raih Gelar Doktor Seni
“Kami sebagai warga desa mendapat rekan, yaitu para seniman, dalam membaca diri dan potensi desa kami. Biennale ini menjadi cermin dan jembatan bagi warga dalam memahami sejarah serta pengetahuan yang tertimbun di lingkungan kami,” tuturnya.
Kerja kolaboratif ini, lanjut Greg, membuka ruang dialog antara seniman dan masyarakat, yang menuntut kemampuan komunikasi dan empati dalam berkesenian.
Sebagai bagian dari rangkaian Biennale Jogja 18, Manajemen Talenta Nasional (MTN) Seni Budaya di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi turut menyelenggarakan MTN Lab: Residensi Bidang Seni Rupa di Yogyakarta. Program ini bekerja sama dengan Yayasan Biennale Yogyakarta dan berlangsung sejak 24 September hingga 7 Oktober 2025.
Sebanyak 20 seniman dan 6 kurator muda dari berbagai daerah Indonesia mengikuti program residensi yang meliputi kelas, kunjungan studio, serta produksi pameran bersama. Hasil karya mereka akan dipamerkan di Ning Art Space dan Sangkasa Gallery, Bantul, sebagai bagian dari Biennale Jogja 18: Kawruh.
Biennale Jogja 18 menegaskan kembali komitmennya untuk menempatkan kerja trans-nasional dan trans-lokal sebagai cara membangun imajinasi kolektif baru.
Selain pameran utama, berbagai program publik seperti diskusi, pemutaran film, festival warga, hingga pertunjukan seni digelar untuk membuka ruang refleksi terhadap sejarah, pengetahuan lokal, dan kehidupan sosial desa dalam kaitannya dengan isu global kontemporer.
Dengan semangat Kawruh: Tanah Lelaku, Biennale Jogja 18 tidak hanya menjadi ajang perayaan seni rupa, tetapi juga sebuah perjalanan pengetahuan, laku, dan kesadaran yang berakar kuat pada tanah tempat ia tumbuh.(*)