Menengok “Four Nights Fever”, Teater Gadjah Mada yang Sulap Rumah Terbengkalai Jadi Ruang Seni Hidup

Photo Author
- Senin, 13 Oktober 2025 | 06:10 WIB
Penampilan Teater di acara
Penampilan Teater di acara

Krjogja.com - YOGYA – Tampilan karya seni menarik, mengesankan akan selalu dikenang. Meski event digelar beberapa waktu lalu, tidak hilang dari kenangan.

Seperti kegiatan event seni yang di kompleks perumahan dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) yang digelar 25-28 September lalu, masih membekas dan terasa belum hambar untuk membahasnya. Lokasi pameran di yang biasanya terasa seni, mendadak seakan hidup kembali.

Dinding yang lama tak tersentuh disulap menjadi panggung seni yang penuh cahaya, tawa, dan tepuk tangan. Semua berkat kreativitas mahasiswa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Gadjah Mada, yang kembali menggelar festival lintas seni bertajuk “Four Nights Fever”, pre-event dari festival utama “Theatrival” edisi kedua.

Acara yang digelar selama empat hari, 25 hingga 28 September 2025, ini berlangsung di Rumah M6, Jalan Kayu Putih Blok M6, kawasan perumahan dosen UGM. Tahun ini, “Four Nights Fever” menjadi pembuka rangkaian kegiatan Theatrival 2025 yang mengusung tema “Euphoria”, sebuah perayaan kreativitas dan kolaborasi lintas bidang seni.

Baca Juga: Jamin Keamanan Pangan MBG, SPPG Sinduadi Gandeng Ahli dari UGM

Pimpinan Produksi Theatrival 2025, Clara Oda, dalam wawancaranya yang diunggah di akun Instagram @teatergadjahmada, menjelaskan bahwa rangkaian acara dimulai dari penerimaan anggota baru, workshop, hingga pementasan Four Nights Fever dan acara puncak Theatrival Main Event yang berlangsung dari September hingga November.

“Four Nights Fever” dirancang dengan konsep acara bersambung selama empat hari penuh. Setiap malam, pengunjung diajak menikmati dua naskah utama teater, yaitu “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” dan “Manhattan dan Sepenggal Kisah yang Ganjil”, yang menjadi menu utama pre-event kali ini. Kedua naskah ini terbuka untuk publik dan dapat disaksikan tanpa dipungut biaya. Tak hanya pertunjukan teater, suasana malam juga diperkaya dengan penampilan musik dari band-band lokal seperti MERAMU, Briptop Forever, Gustav, dan Lost in Eden.

Menariknya, lokasi acara bukanlah gedung pertunjukan, melainkan sebuah rumah terbengkalai yang lama tidak digunakan. Rumah M6, begitu sebutannya, menjadi pusat perhatian karena di tangan para anggota Teater Gadjah Mada, bangunan yang semula sunyi berubah menjadi ruang yang penuh kehidupan.

“Kami akan menyulap rumah M6 ini menjadi karya yang bisa dinikmati oleh teman-teman semua,” ujar Clara bersama Ayu dalam konten Instagram @teatergadjahmada yang menampilkan proses aktivasi Rumah M6.

Sebelum diubah menjadi panggung seni, kondisi rumah itu jauh dari kata layak. Per 31 Agustus 2025, rumah M6 masih dikelilingi rumput liar dan belum tersambung listrik maupun saluran air, seperti dijelaskan Ayu dalam video dokumentasi tersebut. Proses revitalisasi pun dilakukan secara gotong royong. Bagian dalam rumah dijadikan panggung utama teater, sementara area luarnya digunakan untuk pementasan musik, ruang interaktif bagi pengunjung, dan lahan bagi tenant kolaborasi.

Baca Juga: Nostalgia Hasto Kristiyanto: Wanagama, UGM, dan Gerakan Penghijauan yang Didukung Megawati

Dalam aspek pementasan, dua naskah utama yang menjadi sorotan digarap oleh dua sutradara muda berbakat: Syahidin, yang menyutradarai teater “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”, dan Erlangga Mahendra Yudha (Bom-Bom), yang menakhodai “Manhattan dan Sepenggal Kisah yang Ganjil”. Keduanya mengadaptasi cerita pendek karya Umar Kayam, yang dialihwahanakan menjadi pertunjukan teater yang segar dan relevan.

Ide awal pementasan ini berangkat dari gagasan Bom-Bom yang menyebut bahwa Teater Gadjah Mada belum pernah menyajikan teater bersambung sebelumnya. Setiap naskah dibagi menjadi dua bagian, menghasilkan empat segmen pertunjukan yang saling terhubung dan dipentaskan selama empat malam.

Syahidin mengakui bahwa proses adaptasi dari cerpen ke naskah teater bukanlah hal mudah. “Tantangannya adalah bagaimana membangun kedekatan emosional dan konteks budaya antara cerita yang berlatar Manhattan dengan penonton kita di sini,” ujarnya. Ia menambahkan, keterbatasan jumlah tokoh dalam cerita — hanya dua karakter utama, Marno dan Jane — menuntut kreativitas lebih dalam membangun dinamika panggung.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Primaswolo Sudjono

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pameran Seni Rupa Alumni UST Digelar di TBY

Selasa, 5 Desember 2023 | 20:12 WIB

Djoko Pekik Sosok Panutan, Ini Kata Rektor ISI Yogya

Minggu, 13 Agustus 2023 | 05:49 WIB

Cerita Indah Tentang 'Konser Kodok yang Ricuh'

Minggu, 1 Januari 2023 | 14:37 WIB

Dalang Ki Anom Sucondro, 'Ngeli Ning Ora Keli'

Kamis, 22 September 2022 | 13:50 WIB
X