Ikut Resah, Masyarakat Sleman Sadar Wisata Desak Penuntasan Kasus Hibah Pariwisata

Photo Author
- Senin, 27 Oktober 2025 | 18:00 WIB
Suasana diskusi publik kasus hibah pariwisata (Harminanto)
Suasana diskusi publik kasus hibah pariwisata (Harminanto)

Krjogja.com - SLEMAN - Kasus dugaan korupsi dana hibah pariwisata tahun 2020 di Kabupaten Sleman kembali menjadi sorotan publik. Pakar hukum dan aktivis antikorupsi berkumpul dalam forum bertajuk “Diskusi Publik: Usut Tuntas Dalang Hibah Pariwisata” yang digelar di Pendopo Candi Gebang, Sleman, Senin (27/10/2025).

Forum tersebut digagas Masyarakat Sleman Sadar Wisata. Diharapkan diskusi ini menjadi ruang untuk menyoroti proses hukum yang sedang berjalan agar dikawal secara adil, transparan dan proporsional.

Baca Juga: SEALOVERS GAME FESTIVAL 2025 Meriah, Nostalgia Gamer 2000-an di Sleman City Hall

"Forum ini bukan untuk menghakimi siapa pun, melainkan untuk memastikan bahwa proses hukum terhadap kasus ini berjalan terbuka dan objektif," ungkap ketua panitia penyelenggara, Arif Reksa Pambudi yang desanya juga menerima dana hibah pariwisata.

Pegiat pariwisata yang pernah menerima hibah mengaku khawatir dan resah atas kasus yang menjerat SP tersebut. Apalagi dana hibah diterima dan dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat pegiat pariwisata di desa wilayah Sleman.

"Kami berharap diskusi publik ini, bisa menjadi pencerah bagi kami agar tidak lagi resah. Semoga kasusnya diusut tuntas, sampai terang dan dengan objektif," tandasnya.

Baca Juga: Daging Ayam dan Telur Ayam Disorot Masyarakat

Kasus ini berawal dari penetapan mantan Bupati Sleman, Sri Purnomo (SP), sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Sleman dalam dugaan korupsi dana hibah pariwisata senilai Rp10,9 miliar. Dugaan tersebut berakar pada Peraturan Bupati (Perbup) Sleman Nomor 49 Tahun 2020 yang diduga memperluas kriteria penerima hibah di luar ketentuan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) melalui Keputusan Menteri Nomor KM/704/PL.07.02/M-K/2020 tertanggal 9 Oktober 2020.

Kejaksaan menjerat SP dengan Pasal 55 KUHP tentang Penyertaan, yang mengindikasikan adanya dugaan keterlibatan lebih dari satu pihak. Namun hingga kini, SP masih menjadi satu-satunya tersangka dalam perkara tersebut.

Aktivis antikorupsi dari Jogja Corruption Watch (JCW), Baharuddin Kamba, menegaskan bahwa Kejaksaan harus membuka secara terang benderang semua pihak yang diduga terlibat. "Kasus ini jangan berhenti pada Pak SP saja. Kalau pakai Pasal 55, harus jelas siapa yang turut serta. Kejaksaan jangan menggantungkan nasib SP sendirian sebagai tersangka," ungkap Kamba.

Kamba juga mempertanyakan apakah dana hibah tersebut digunakan secara proporsional atau justru mengandung motif politik. Jika kasus ini sampai ke pengadilan, prosesnya bisa panjang karena lebih dari 300 penerima hibah berpotensi menjadi saksi.

"Publik tentu bertanya-tanya, apakah hibah ini ada kaitan dengan dukungan politik saat itu, atau penerimaannya benar-benar sesuai aturan tanpa potongan," tandas Kamba.

Sementara, Ari Wibowo, praktisi hukum, menekankan bahwa pembuktian unsur kesengajaan dan keuntungan pribadi menjadi kunci utama dalam membuktikan tindak pidana korupsi. Ia menilai penggunaan Pasal 55 KUHP ayat 1 ke-1 perlu dikaji secara cermat.

"Korupsi murni terjadi kalau ada dana yang masuk ke kantong pribadi. Itu harus dibuktikan. Kalau dana digunakan untuk kepentingan publik, maka harus dilihat konteks hukumnya lebih dalam. Kalau menggunakan pasal penyertaan, maka seharusnya ada lebih dari satu pelaku. Publik wajar menduga ada muatan politis jika hanya satu orang yang ditetapkan tersangka," ujarnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Ary B Prass

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kampus Berdampak, Memperkuat Kontribusi Kemanusiaan

Jumat, 19 Desember 2025 | 15:57 WIB

Sudarsono KH, Salah Satu Pendiri PSS Tutup Usia

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:15 WIB
X