‘Setu Sangaji’: Ketika Bahasa Jawa Krama Kembali Bergema di Sekolah, dan Anak SMP pun Jadi Priyayi Sehari

Photo Author
- Senin, 28 Juli 2025 | 11:45 WIB

SOLO, KRjogja.com - Di tengah maraknya tren “speaking English confidently” dan jargon bahasa asing adalah masa depan, SMP Negeri 1 Ngrampal Sragen melakukan manuver budaya yang cukup nekat. Bukan dengan belajar TOEFL atau bikin kelas percakapan Jepang, tapi justru melanggengkan Bahasa Jawa Krama setiap hari Sabtu. Namanya ‘Setu Sangaji’.

Tenang, ini bukan upaya mistis atau ritual keraton, tapi sebuah gerakan budaya sekolah yang justru keren banget: ngajak anak SMP belajar pakai basa krama dengan bangga dan rutin. Setiap Sabtu, guru, murid, sampai satpam dan kantin—semua pakai Bahasa Jawa Krama dalam interaksi. Nggak boleh pakai campuran “yo wes lah” apalagi “oke, Miss.”

Program ini bukan sekadar basa-basi. Anak-anak bahkan diwajibkan punya buku kendali basa krama. Fungsinya bukan untuk dilukis-lukis atau dicorat-coret nama gebetan, tapi untuk mencatat satu kata atau frasa baru setiap hari. Jadi tiap Sabtu, buku itu dikumpulkan, dicek wali kelas, dan jadi semacam logbook kultural versi anak SMP.

Menurut Bu Betty Kusuma Listyowati, guru sekaligus penggagas program ini, ‘Setu Sangaji’ lahir dari rasa gelisah. Bukan karena kuota habis atau anak-anak mulai lupa Pancasila, tapi karena Bahasa Jawa Krama makin hari makin dilupakan. Anak-anak sekarang lebih fasih bilang “bro, gaskeun” ketimbang “monggo tindak rumiyin”.

“Kami ingin Bahasa Jawa Krama kembali menjadi bahasa hidup, bukan sekadar pelajaran yang bikin ngantuk di jam terakhir. Lewat Setu Sangaji, anak-anak jadi ngerti sopan santun, nilai luhur, dan tentu saja, bangga jadi wong Jawa,” kata Bu Betty.

Dan ternyata, bukan cuma kosakata yang nambah. Dari hasil evaluasi, anak-anak jadi lebih paham cara komunikasi yang halus. Ada yang mulai manggil ibunya “biyung” atau nyapa guru dengan “kula nyuwun pirsa,” bukan “Bu, nanya dong.” Bonusnya, hubungan mereka dengan kakek-nenek di rumah juga jadi makin cair karena bisa ngobrol krama.

Setiap Sabtu, suasana sekolah pun berubah. Ada pentas macapat, pidato Jawa, sampai sesi dongeng rakyat yang bikin suasana mirip episode spesial Si Unyil versi Ngapak. Bikin haru juga sih, lihat anak-anak gen Z bisa ngendikan pakai krama inggil.

Program ini bukan tentang nostalgia atau memaksakan masa lalu, tapi justru bentuk perlawanan halus terhadap amnesia budaya. Dan betul saja, seperti kata pepatah, “aja mung ngimpi dadi presiden, nek basa jawamu wae ora isoh.”

SMP Negeri 1 Ngrampal Sragen sudah membuktikan bahwa melestarikan budaya itu bisa dimulai dari langkah sederhana—dan tentu saja konsisten. Karena, siapa tahu, dari anak-anak yang sekarang bilang “kula nuwun,” kelak lahir pemimpin masa depan yang nggak lupa akar budayanya. (Sam)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Agusigit

Tags

Rekomendasi

Terkini

Giliran Polisi Kosek Miras, Ratusan Botol Disita

Jumat, 19 Desember 2025 | 11:30 WIB
X