WIKAN Sakarinto PhD, kini Dekan Vokasi UGM, masih ingat betul apa yang terjadi enam tahun lalu selepas menyabet gelar Doktor Teknik Industri. Pulang dari tiga tahun izin belajar di Negeri Sakura, tawaran berat menghampirinya.
Memilih antara tetap mengampu di Fakultas Teknik (FT)Â dan mengajar anak-anak sarjana strata satu Teknik Industri, atau beralih status menjadi pengajar Departemen Teknik Mesin Sekolah Vokasi (SV) UGM. Sekolah yang ia rintis bersama sesama kolega akademisi dalam Tim Pengembangan SV UGM, sebelum berangkat ke Jepang.
Masalahnya, ia bukan sekadar diminta memilih. Ia juga harus menimbang. Antara kelancaran dana riset dan janji bisa lebih cepat meraih gelar profesor jika mengajar di Fakultas Teknik, atau harus menghadapi SV yang masih seumur jagung, minim dana, dan kerap menghadapi demonstrasi mahasiswa. Namun di tengah segala kekurangan vokasi, hatinya tetap teguh. Bahwa Diploma Teknik Mesin lah yang melahirkannya, maka disitulah ia harus berjuang.
"Bayangkan saja. Ngapain saya S3 sampai Jepang belajar Teknik Industri, kalau disini cuma kerjaan ngadepin demo? Hancur-hancuran vokasi itu dulu. Tapi gimana lagi. Mosok tanah kelahiran saya hancur, kapalnya karam, saya pindah ke hotel mewah gitu," ungkap Wikan tanpa ragu.
Dari situlah, kisahnya turut serta membangun Vokasi UGM hingga menjadi sehebat hari ini, dimulai.
Merintis dengan Penuh Dedikasi
5 September 1977 menjadi penanda diresmikannya Pendidikan Ahli Teknik FT UGM. D3 Teknik Mesin sudah ada sejak itu, bersama dengan Teknik Elektro dan Teknik Sipil. Seiring perkembangan peraturan kependidikan, Fakultas Non-Gelar Teknologi menjadi tempat bernaung prodi ini.
Hingga pada tahun akademik 1991/1992, program studi diploma akhirnya digabungkan lagi ke Fakultas Teknik. Hal serupa juga terjadi pada program studi diploma ekonomi yang tergabung dalam Fakultas Non-Gelar Ekonomi, yang kemudian digabungkan dalam Fakultas Ekonomi Bisnis.