KRJogja.com - YOGYA – Terpidana Sugiharto selaku konsultan perencana dalam kasus tindak pidana korupsi pembangunan kawasan Stadion Mandala Krida akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Putusan hakim dalam perkara ini dinilai mengandung kekhilafan dan kekeliruan sehingga terpidana dihukum 8 tahun penjara.
“Rencananya terpidana Sugiharto akan ajukan PK atas putusan hakim. Putusan itu dinilai mengandung kekhilafan dan kekeliruan yang nyata" kata Wahyu Priyanka Nata Permana SH MH selaku Managing Partner Firmly Lawfirm dalam acara eksaminasi putusan PN Yogya atas nama Sugiharto selaku konsultan perencana dalam kasus tindak pidana korupsi pembangunan kawasan Stadion Mandala Krida, Sabtu (15/3) malam.
Acara tersebut diselenggarakan oleh Firmly Lawfirm yang bekerja sama dengan FH Universitas Wahid Hasyim Semarang sebagai fasilitator acara eksaminasi tersebut.
Dalam acara tersebut menghadirkan 5 ahli, yakni 4 ahli hukum pidana Prof Hanafi Amrani SH MH LLM PhD, Prof Dr Rena Yulia SH MH, Dr Beniharmoni Harefa SH LLM dan Dr Aditya Wiguna Sanjaya SH MH MHLi. Kemudian 1 Ahli Pengadaan yakni Dr Ir Nandang Sutisna SH MBA, serta Dr Mahrus Ali SH MH sebagai moderator.
“Eksaminasi putusan ini bertujuan untuk menguji, menilai, dan menyiarkan kualitas serta akurasi suatu keputusan pengadilan berdasarkan aspek hukum (asas, teori dan norma hukum), fakta, dan argumentasi hakim,” terangnya.
Baca Juga: Longsor di Temanggung Rusak 3 Rumah Warga
Menurutnya, ada beberapa isu hukum yang menjadi sorotan dalam ujian ini antara lain tentang penyebutan merek 'Wins atau yang sama'. Putusan hakim dalam perkara ini mengandung kekhilafan yang nyata, terutama dalam menilai penyebutan spesifikasi 'WINS atau yang sama'.
“Regulasi pengadaan barang/jasa justru memperbolehkan penyebutan merek tertentu selama ada alternatif, sehingga tidak dapat dianggap mengarahkan penyedia tertentu. Hakim mengabaikan fakta bahwa frasa 'atau yang sama' dalam spesifikasi teknis tidak membatasi persaingan usaha,” paparnya.
Putusan hakim dalam perkara ini menunjukkan kekeliruan mendasar dalam menafsirkan kewajiban Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) terkait penyusunan Harga Penilaian Sendiri (HPS). Secara normatif, tidak terdapat larangan bagi pihak ketiga, seperti konsultan perencana, untuk menyusun draf HPS.
Justru, dalam ketentuan yang berlaku, metode penyusunan HPS dapat mengacu pada perkiraan biaya yang dihitung oleh konsultan perencana (Engineer's Estimate/EE) atau Rencana Anggaran Biaya (RAB), dan tidak harus selalu merujuk pada survei harga pasar.
“Oleh karena itu, pandangan hakim yang menyatakan bahwa HPS harus disusun sendiri oleh PPK dan hanya berbasis harga pasar merupakan kekeliruan yang bertentangan dengan prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah,” ucapnya.
Mengenai kerugian keuangan negara, konsultan perencana tidak ikut serta dalam pelaksanaan kontrak konstruksi dan tidak memperoleh keuntungan dari proyek tersebut. Sehingga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Dalam fakta hukum, kewenangan utama dalam pelaksanaan pekerjaan berada pada kontraktor, bukan konsultan perencana.
Namun, hakim keliru menyimpulkan bahwa perbuatannya membenarkan pihak lain tanpa menunjukkan benang merah dengan kerugian negara senilai Rp 31,7 miliar, tambahnya.