Danantara Dihantui Risiko Politisasi, Konflik Kepentingan, dan Krisis Operasional BUMN

Photo Author
- Jumat, 19 Desember 2025 | 14:58 WIB
  RGD Nagara Institute dan AFU  berlangsung menarik dipandu Akbar Faizal.
RGD Nagara Institute dan AFU berlangsung menarik dipandu Akbar Faizal.

KRjogja.com - YOGYA - Dari Round Table Discussion (RTD) yang dihelat Nagara Institute bersama program Akbar Faizal Uncensored (AFU), Selasa (16/12/2025) di Sahid Raya Hotel & Convention Yogyakarta, dua peneliti utama Nagara Insitute yakni Prof Dr Satya Arinanto SH MH dan Dr R Edi Sewandono SH MH memberikan catatan pada RTD yang bertajuk ‘Menghitung Risiko dan Harapan Superholding BUMN Danantara’,

"Serangkaian potensi tantangan dan risiko yang dihadapi Danantara, entitas super holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara BPI Danantara lahir melalui UU Nomor 1 Tahun 2025 dan UU Nomor 16 Tahun 2025," jelas Prof Satya Arinanto.

Diskusi kritis yang dipandu Dr. Akbar Faizal SH MSi, Anggota DPR RI Periode 2009-2014 dan 2014-2019 yang terkenal dengan gaya wawancara dan moderasi yang tajam, kritis, dan berani membahas topik- topik sensitif secara ‘tanpa sensor ini diikuti akademisi pakar tokoh kebijakan publik dan lainnya ini mengulas risiko dan harapan Super Holding BUMN Danantara—menimbang tata kelola, akuntabilitas, dan masa depan pengelolaan kekayaan publik Indonesia.

Baca Juga: Bukan Menahan Lapar, Ini Prinsip Diet Sehat untuk Mengontrol Berat Badan

"BIP Danantara bertujuan mengonsolidasikan pengelolaan BUMN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Tetapi dibalik harapan besar tersebut, terdapat risiko sistemik, mulai dari tata kelola, politisasi, hingga kerentanan dalam investasi global," jelas Prof Satya Arinanto.

Secara tegas Prof Dr Satya menyoroti potensi risiko hukum dan tata kelola jika Danantara tidak diawasi secara ketat. "Skala aset Danantara yang sangat masif, mencapai USD900 miliar, membutuhkan mekanisme transparansi yang sangat kuat. Jika tidak diawasi dengan ketat, ada risiko penyalahgunaan aset dan investasi tidak produktif. Perlu mekanisme transparansi yang kuat agar tidak terjadi praktik oligarki,” ungkapnya.

Disebutkan risiko politisasi, yaitu intervensi politik dalam pengambilan keputusan dan resistensi dari perusahaan BUMN yang sudah ada. "Sebagian BUMN mungkin menolak pengalihan aset karena merasa kehilangan kendali, yang memerlukan strategi komunikasi dan insentif yang matang agar sinergi dengan Danantara tercapai," paparnya.

Baca Juga: Diplomasi Budaya di Pahargyan Agung, Purbalingga Kukuhkan Persahabatan dengan Jepang

Selain itu, penguasaan aset yang begitu besar oleh Danantara juga berpotensi menghambat persaingan usaha di beberapa sektor, "Yang mengharuskan adanya regulasi yang memastikan keberimbangan antara peran negara dan swasta," paparnya

Sedang Dr. R. Edi Sewandono memaparkan tantangan lebih spesifik di tingkat operasional dan investasi, yang menjadi pekerjaan rumah bagi Badan Pengaturan (BP) BUMN dan BPI Danantara. "BPI Danantara harus mengatasi masalah fundamental BUMN yang terus menurun, yaitu: profitabilitas BUMN yang selalu menurun, inefisiensi yang menghambat pertumbuhan, serta utang BUMN yang semakin meningkat," jelasnya.

Menurutnya ini yang paling penting bahwa BP BUMN dan pengelolaan Danantara akan mengalami permasalahan profitabilitas BUMN yang selalu menurun, value destruction-nya itu semakin tinggi. "Kemudian utang BUMN yang semakin meningkat dan keberlanjutan bisnis pada 80 persen lebih BUMN mengkhawatirkan,” tuturnya.

Edi juga menyoroti masalah operasional yang kronis, seperti tumpang tindih bisnis dan rantai nilai di sejumlah besar BUMN, perbedaan kinerja utama di antara BUMN yang akan di-holding-kan, serta risiko salah urus operasional yang erat kaitannya dengan politisasi dan Good Corporate Governance (GCG) yang lemah. "Dalam konteks Super Holding Investasi Global atau Sovereign Wealth Fund (SWF), perlu diingat adanya kerentanan organ BPI Danantara," paparnya.

Baca Juga: Napoli Jinakkan AC Milan, Højlund: Ayo Bawa Pialanya ke Naples!

Dia menyebutkan kelemahan terbesar ada pada tugas fidusia, konflik kepentingan struktural, dan kerentanan akuntabilitas di antara jajaran pengelola. "Di samping tantangan internal, BPI Danantara juga harus siap menghadapi enam masalah utama yang SWF global alami. Di antaranya suku bunga rendah atau negatif, perubahan demografis, dan yang paling krusial adalah pergeseran geopolitik," jelasnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

X