Prof Dr Ki Supriyoko
Direktur Pascasarjana Pendidikan UST Yogyakarta
SALAH satu masalah pendidikan yang sedang menghangat di lingkungan pendidikan tinggi sekarang ini ialah masalah skripsi, jelasnya masalah pembebasan atau peniadaan skripsi. Artinya, seorang mahasiswa dimungkinkan lulus pendidikan sarjana tanpa harus menulis skripsi. Selama ini hampir semua perguruan tinggi penyelenggara Program Sarjana (S1), baik PTN maupun PTS, mewajibkan mahasiswa menulis skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan.
Artinya, tanpa menulis skripsi maka seorang mahasiswa tidak mungkin dinyatakan lulus pendidikan sarjana. Sekaligus meraih gelar akademis yang sesuai dengan program studi (prodi) yang dijalaninya. Penulisan skripsi sudah menjadi semacam tradisi akademis yang tidak boleh ditinggalkan. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai ’ritual’ untuk meraih gelar akademis yang diinginkan.
Di sisi lain, bebas skripsi, dalam arti seorang mahasiswa tidak perlu menulis skripsi untuk menandai akhir studi, sebenarnya tak sekadar menjadi wacana tetapi sudah menjadi realitas. Maksudnya sudah ada perguruan tinggi yang mulai menjalankannya, walau masih dalam ranah peraturan. Universitas Negeri Surabaya (Unesa) adalah contohnya.
Perguruan tinggi binaan langsung pemerintah ini telah mengambil keputusan bebas skripsi bagi mahasiswa yang mengikuti Program Kreatif Mahasiswa (PKM) dan lolos sampai tingkat nasional. Pemberlakuan bebas skripsi bagi mahasiswa peserta PKM yang sampai tingkat nasional tersebut merupakan insentif yang diberikan oleh lembaga atas prestasi yang dicapainya. Kajian mahasiswa dalam PKM tersebut dihargai sama dengan skripsi.
Apakah kebijakan pimpinan Unesa tersebut sejalan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)? Tentu! Mana ada perguruan tinggi negeri yang notabene di bawah pembinaan langsung pemerintah berani membuat kebijakan yang bertolak belakang dengan kebijakan Kemendikbud yang notabene adalah pemerintah?
Kemendikbud sejauh ini tidak melarang bebas skripsi. Pj Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Nizam menyatakan bahwa bebas skripsi merupakan otoritas kampus. Pihak kampus dipersilakan memberi berbagai kemudahan kepada mahasiswanya, termasuk memberi bebas skripsi, sepanjang capaian pembelajaran atau learning outcome tidak diabaikan. Banyak hal dapat dikompromikan, kecuali kualitas pembelajaran.
Benarkah bebas skripsi tidak mengganggu kualitas pembelajaran? Hal ini menjadi masalah yang sejak dulu menimbulkan adu argumentasi. Di satu sisi menyatakan bebas skripsi tidak mengganggu kualitas pembelajaran dan membantu kelancaran studi mahasiswa. Di sisi yang lain menyatakan bebas skripsi mengganggu kualitas pembelajaran dan menghilangkan kebanggaan mahasiswa.
Perlu dicatat bahwa polemik bebas skripsi sudah muncul jauh hari sebelum adanya wabah Korona sekarang ini. Terlepas dari polemik, sekarang kita sedang berada pada era transisi. Era dari perguruan tinggi konvensional yang ilmiah murni dan cenderung stagnan menuju perguruan tinggi reformatif kombinasi ilmiah dengan empiris dan dinamis.
Kereformatifan perguruan tinggi saat ini dapat dilihat dari merdekanya mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar program studi, baik di dalam maupun di luar perguruan tingginya. Merdekanya perguruan tinggi menentukan kapan harus melakukan akreditasi.
Juga merdekanya perguruan tinggi membuka program studi baru sejauh memiliki kerja sama mutalistik dengan perusahaan internasional, dan sebagainya. Dalam kondisi kereformatifan tersebut tidaklah aneh memberlakukan bebas skripsi dan menggantikannya dengan kegiatan lain yang menantang dan bermanfaat bagi mahasiswa, perguruan tinggi dan/atau masyarakat.