KEKERASAN demikian brutal acap terjadi di sekitar kita. Apapun motif di balik setiap peristiwa semacam itu, instrumentasi kekerasan sadis dan brutal tidak pernah bisa kita terima dengan akal sehat dan hati nurani yang jernih. ëKulturà kekerasan tentu tidak bisa kita benarkan. Bagi manusia, kekerasan dan sadisme bukanlah respons otentik dan spontan yang bisa muncul tiba-tiba dan diekspresikan begitu saja. Yang demikian itu merupakan insting hewani.
Kita harus merefleksikan bahwa bibit-bibit kekerasan sebenarnya sudah banyak tumbuh di lingkungan pendidikan kita, baik di lembaga pendidikan formal, keluarga, dan masyarakat. Sehingga kelompok-kelompok teroris itu hanya perlu menyemai bibit-bibit kekerasan yang pernah dialami oleh para pelaku di lingkungan pendidikan.
Dalam penelitian yang dilakukan penulis lima tahun yang lalu dalam konteks pendidikan formal di sekolah, penulis menemukan adanya anatomi kekerasan di lingkungan pendidikan. Anatomi kekerasan tersebut dapat dikonstruksi dari beberapa aspek, yaitu aktor, locus dan bentuk, serta faktor determinan kekerasan.
Aktor kekerasan dalam pembelajaran meliputi pemerintah, guru, dan siswa. Pemerintah terlibat dalam beberapa kekerasan simbolik dalam pembelajaran, khususnya dalam bentuk konten kekerasan simbolik, khususnya dalam bentuk kekerasan-kekerasan yang terdapat dalam buku teks. Beberapa buku teks yang ditulis berdasarkan kurikulum formal, baik sebagai muatan nasional maupun muatan lokal memuat konten kekerasan. Seperti pembunuhan, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya.
Kesalahan di balik konten kekerasan dalam buku pelajaran tersebut tidak dapat dilimpahkan hanya kepada penulis, apalagi guru pengguna buku di sekolah. Dalam beberapa kasus sebelumnya, buku-buku ‘bermasalah’ yang dikonsumsi guru-guru dan para murid di sekolah telah dinyatakan lolos penilaian dan secara formal telah mendapat label ëBerstandar NasionalÃ. Kelalaian pihak pemerintah terutama terjadi dalam bentuk lemahnya mekanisme penilaian sekaligus lemahnya kinerja penilai buku.
Di samping pemerintah, kekerasan juga dilakukan oleh guru. Beberapa kekerasan yang dilakukan oleh guru dapat berupa kekerasan verbal, fisik, dan psikis. Kekerasan verbal biasanya dalam bentukbentuk kata-kata kasar, seperti ëbodohÃ, ëgilaÃ, ëga cerdas!Ã, ëtolol!Ã, dan lain sebagainya. Kekerasan verbal semacam itu ikut berkontribusi bagi penciptaan lingkungan bagi kekerasan yang lebih besar dan ekspresif.
Kekerasan fisik sering terjadi dalam bentuk tindakan menampar siswa, melempar penghapus, menjorokkan kepala siswa, membanting pintu, menggebrak meja, dan lain sebagainya. Selain itu, kekerasan psikis juga dilakukan guru seperti mengintimidasi siswa dengan ancaman-ancaman seperti ‘strap’, pemberian nilai jelek, dan sebagainya.
Aktor kekerasan yang lain juga siswa. Siswa kerap melakukan tindakan kekerasan terhadap siswa lainnya. Kekerasan tersebut misalnya berupa bullying, pelecehan fisik, dan lain sebagainya. Aspek yang kedua, yaitu locus kekerasan dalam pembelajaran, pada umumnya terdapat di dalam ruang-ruang kelas, baik itu dalam bentuk materi pembelajaran, atau dalam bentuk perilaku kekerasan nyata di dalam kelas. Keberadaan kelas sebagai ruang kekerasan jelas merupakan sebuah ironi bagi dunia pendidikan.