AKSI anarkis Gerakan Satu Mei dibalas dengan aksi yang dilancarkan oleh sejumlah elemen masyarakat DIY yang bergabung dalam Aksi Masyarakat Anti-anarkisme (Aman). Gerakan antianarkisme itu mengecam tindak perusakan yang dilakukan gerakan yang mengkaitkan dirinya dengan peringatan Hari Buruh itu.
Maraknya beragam gerakan sosial di satu sisi mengindikasikan dinamika masyarakat kita. Gerakan-gerakan itu lahir dari kepedulian terhadap isu-isu yang muncul, keprihatinan akan rupa-rupa kemerosotan, berkembangnya pikiran-pikiran kritis, berkobarnya idealisme, dan orientasi hidup visioner. Gerakan sosial menjadi sarana kampanye nilai-nilai untuk perubahan dan pembaruan.
Yang repot adalah apabila aktor-aktor politik ikut dan sengaja memainkan gerakan-gerakan sosial demi kepentingan kekuasaan. Bukannya mengkampanyekan nilai-nilai pembaruan, tetapi menjadikan gerakan sosial sebagai alat provokasi politik. Sebenarnya hal itu mudah terbaca karena sifat gerakan akan menjadi artifisial, tendensius, menghasut (kontraventif), memaksa (koersif), dan intimidatif.
Gerakan berpotensi memicu anarkisme karena melibatkan faktor psikologi massa yang acapkali sengaja dipermainkan. Memang, kegeraman dan kemarahan publik akibat tekanan rezim tiran bisa juga memicu anarkisme massa yang memberontak (people power). Namun dalam suasana demokratis yang relatif stabil yang memberi kemerdekaan bagi rakyat untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat, gerakan-gerakan anarkisme hampir pasti didalangi aktor-aktor politik berjiwa perusak yang serakah.
Beragam modus dikembangkan untuk mengaduk-aduk psikologi massa. Yang repot adalah jika faktor radikalisme bernuansa SARAdijadikan pemantik gerakan. Clifford Geetz (1992) mengatakan bahwa agama adalah sistem simbol yang sangat kuat dalam menetapkan suasana hati (mood) dan motivasi perilaku, di mana ide-ide irasional dihayati sebagai realitas dan faktualitas. Gerakan berbasis isu SARA melahirkan para militan berjiwa martir yang tanpa sadar kehilangan akal sehatnya.
Jika gerakan sosial bervisi mengkampanyekan perubahan dan pembaruan nilai-nilai maka semestinya lebih bersifat gerakan paradigmatik. Kekerasan dan anarkisme tidaklah relevan. Gerakan sosial semestinya idealistik, mempromosikan gagasan-gagasan mulia tanpa kontaminasi kepentingan politik. Gerakan sosial bersifat damai, antikekerasan, dan berorientasi sipil. Gerakan Hak-hak Sipil di Amerika Serikat dan Gerakan Solidaritas di Polandia misalnya, terbukti efektif membawa perubahan secara damai tanpa kekerasan dan anarkisme.
Nasionalisme bangsa-bangsa juga bertumbuh melalui gerakangerakan sosial. Anthony D Smith (2002) mengatakan bahwa pertumbuhan suatu bangsa berbasis pada penguatan sentimen dan kesadaran kebangsaan melalui gerakan-gerakan sosial-politik yang berkelanjutan. Hal itu pun terjadi dalam pertumbuhan bangsa-negara Indonesia, mulai dari Boedi Oetomo (1908) yang kemudian mengkristal dalam gerakan Sumpah Pemuda (1928). Eskalasi gerakan-gerakan kebangsaan itulah yang pada ujungnya mengantarkan kita pada pintu gerbang Kemerdekaan RI (1945).
Demikian juga dengan Keistimewaan DIY. Setelah Pisowanan Ageng (1998), gerakan Keistimewaan berlanjut dengan aksi-aksi pengukuhan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY. Beragam gerakan sosial-kultural terus berkembang dan menjadi masif hingga akhirnya UU Keistimewaan DIY disahkan pada 2012. Meskipun bersifat perlawanan - terhadap penguasa yang skeptis, apatis, dan kontra - gerakan Keistimewaan tak pernah menjadi aksi-aksi kekerasan dan anarkis.