Kini, aksi teror memasuki gelombang kedua, yakni menggunakan senjata-senjata virtual. Penggalangan opini publik, kolaborasi dengan politisi dan pebisnis, disertai pembentengan diri dengan hukum formal, telah menjadi fenomena baru. Target yang ingin dicapai adalah terbentuknya iklim ketakutan. Sehingga perlawanan terhadap koruptor surut, atau dihentikan.
Dalam perspektif poskriminalitas, diingatkan oleh Jean Baudrillard, (dalam Fatal Strategies, 1990) bahwa aksi teror terhadap Novel dan sejenisnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari politik, ketika politik dikendalikan sepenuhnya oleh hawa nafsu. Mesin-mesin politik semacam itu menjelma menjadi aktor politik, aktor hukum, aktor ekonomi, aktor keamanan yang a-sosial, a-moral. Modus kejahatannya bersifat transpolitik. Di dalam transpolitik, tidak ada batas antara penguasa dan pejabat, antara politikus dan mafia-politik, antara penjahat dan penegak hukum. Demokrasi pun bercampur-aduk dengan anarki.
Kepulangan Novel, ternyata mampu menyemangati dan memperbarui iklim keberanian melawan korupsi. Momentum ini perlu dijaga dan terus diaktualisasikan. Bersama Novel dan KPK, kita lawan koruptor.
(Prof Dr Sudjito Atmoredjo. Guru Besar Ilmu Hukum UGM. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 24 Februari 2018)