Krjogja.com - YOGYA - Di tengah derasnya arus film horor dan aksi di layar lebar Indonesia, sebuah karya sinema bernuansa agraris datang membawa semilir angin segar. Judulnya 'Seribu Bayang Purnama', sebuah film produksi Baraka Films yang tayang serentak di bioskop seluruh Indonesia mulai 3 Juli 2025.
Namun lebih dari sekadar hiburan, film ini adalah narasi tentang akar, tentang tanah, dan tentang mereka yang setiap hari menyentuh bumi demi menghidupi negeri—para petani.
Baca Juga: Gunawan/Oki Juara ‘Home Tournament’, PB Kawan Lama Diresmikan
Disutradarai oleh Yahdi Jamhur, sosok yang lebih dulu dikenal sebagai jurnalis dan sinematografer dokumenter, Seribu Bayang Purnama menyelami konflik, impian, dan dilema seorang petani muda.
Tokoh sentralnya, Putro Purnomo (diperankan Marthino Lio), adalah gambaran anak zaman kini yang memilih pulang kampung, bukan karena kalah di kota, melainkan karena menang dalam menyadari panggilannya. Ia kembali dengan tekad membangun pertanian alami di tengah derasnya ketergantungan pada pupuk dan pestisida pabrikan.
Film ini bukan sekadar kisah fiksi. Ia hadir dari kegelisahan nyata: bagaimana nasib petani—yang mestinya jadi pahlawan pangan—masih sering luput dari perhatian. Mulai dari modal usaha yang sulit, biaya produksi yang tinggi, hingga tekanan pasar yang tak berpihak. Narasi ini kemudian diramu secara cerdas dalam balutan konflik antar keluarga, romansa yang tabu, serta semangat juang yang tak padam.
Baca Juga: Pemerintah Kejar Target 9 Klaster UMKM
Satu titik konflik menarik hadir dalam bentuk cinta Putro kepada Ratih (Givina), gadis pemilik toko pupuk kimia—yang juga anak dari keluarga rival ayahnya. Dari sinilah film ini menemukan kekuatan dramatiknya: dua generasi, dua pandangan, dua pilihan masa depan yang saling bertubrukan.
Tak hanya menyuguhkan drama, Seribu Bayang Purnama juga menjadi ruang edukasi. Lewat visual yang sinematik—berkat pengalaman Yahdi di ranah dokumenter—penonton diajak menyelami alam dan ritme kehidupan petani secara dekat. Lokasi syuting di Bantul dan Sleman, DIY, bukan semata latar, tapi menjadi karakter itu sendiri. Alam digambarkan hidup, menjadi saksi perjuangan dan tempat berpulang.
Skenario film ini ditulis oleh Swastika Nohara, pemenang dua Piala Maya, yang membawa sentuhan sastra dalam percakapan dan dialognya. Film ini tidak hanya mengandalkan cerita, tapi juga kedalaman emosi. Tak heran jika aktor senior seperti Whani Darmawan dan Aksara Dena menyebutnya sebagai karya yang reflektif dan menyentuh.
Lebih dari itu, film ini adalah aksi nyata. Semua keuntungan dari penayangan film akan disalurkan ke program pemberdayaan petani. Suatu langkah langka di industri perfilman yang sering hanya berhenti pada premiere dan tepuk tangan.
“Ketahanan pangan bukan sekadar isu, tapi kunci kedaulatan bangsa,” tegas Yahdi saat pemutaran perdana film di Yogyakarta (22/6). Pesan ini disampaikannya tanpa menggurui. Ia membiarkan gambar dan cerita menyentuh relung penonton—agar pesan tentang bumi, benih, dan petani, bisa hidup dalam kesadaran kita bersama.
Dengan Seribu Bayang Purnama, sinema Indonesia menemukan jalannya kembali pada tanah. Film ini adalah bukti bahwa layar lebar bisa lebih dari sekadar tontonan. Ia bisa menjadi ladang, tempat benih kesadaran disemai. Dan semoga, tumbuh jadi gerakan. (*)