KRjogja.com - YOGYA - Terdorong untuk menghadirkan kembali pengalaman migrasi masyarakat Ansus dari Papua ke Halmahera sebagai sebuah lanskap memori yang hidup, Mahasiswa Pascasarjana ISI Yogya Jeannete Lauren dalam tugas akhirnya membuat film Ainuai: Nyanyian Ombak. Bukan sekadar catatan sejarah. film dokumenter ini berangkat dari pendekatan Art in Action Research (AiAR).
"Proses kreatif ini menempatkan interaksi sehari-hari, nyanyian tradisional, dan relasi dengan laut sebagai pusat penciptaan. Ide penciptaannya muncul dari kesadaran bahwa migrasi bukan hanya peristiwa perpindahan, melainkan ruang di mana tubuh, waktu, dan ingatan terus berkelindan," papar Jeannete dalam Screening & Diskusi Film "Ainuai: Nyanyian Ombak", Jumat (12/9/2025) sore di Bioskop Sonobudoyo, Yogyakarta.
Film ini bertujuan untuk merangkai citra-citra waktu yang mengalir (time-image dari Gilles Deleuze) sebagai cara untuk memahami bagaimana masyarakat Ansus menghidupi pengalaman migrasi melalui ritme, bukan narasi linear. "Proses pengerjaan film ini lima tahun (2020–2025), dimulai dari riset lapangan di Ansus (Papua) dan Guaeria (Halmahera), kemudian dilanjutkan dengan tahap pengambilan gambar, refleksi bersama komunitas, hingga penyusunan narasi film," paparnya.
Dijelaskan lamanya waktu ini bukan sekadar teknis, melainkan kebutuhan untuk membangun kepercayaan, menciptakan ruang bersama, dan membiarkan ritme kehidupan komunitas membentuk struktur film secara organik. "Tantangan terbesar bukan hanya soal teknis produksi di daerah kepulauan yang terpencil, seperti akses transportasi, cuaca laut yang tidak menentu, atau keterbatasan peralatan, tetapi terutama tantangan etis dan emosional," terangnya.
Dikatakan sebagai pembuat film sekaligus peneliti, posisinya perlu terus dinegosiasikan: bagaimana hadir tanpa menguasai, bagaimana merekam tanpa mengganggu, dan bagaimana menyusun narasi tanpa mereduksi pengalaman hidup komunitas. "Tantangan lainnya adalah menjaga kesabaran dalam menghadapi ritme kehidupan yang jauh lebih lambat daripada ritme produksi film pada umumnya, sekaligus membiarkan proses riset membentuk film, bukan sebaliknya," tandasnya.
Melalui semua tantangan ini, lanjutnya, Ainuai: Nyanyian Ombak menjadi bukan hanya sebuah karya dokumenter, tetapi juga ruang belajar bersama. "Ia adalah hasil dari pertemuan lintas ruang, lintas waktu, dan lintas pengalaman yang memandang laut bukan sekadar bentang geografis, melainkan sebagai pengikat memori, rumah, dan identitas yang terus bergerak," paparnya.
Film Ainuai: Nyanyian Ombak mendapat apresiasi, ulasan, kritik dan saran konstruktif dari Kurator dan Dosen Pasca Sarjana ISI Yogyakarta Dr Suwarno Wisetritomo MHum dan Dosen Pascasarjana ISI Yogya yang juga pembimbing Jeannete, Dr Koes Yuliadi MHum.
Selaku Director dalam proses pembuatan film ini Jeannete bisa meringkas dan meringkus waktu, menjadi presentasi karya seni luar biasa dengan pilihan bingkai dokumentasi dan narasi yang tepat. Film dengan riset 5 tahun. Perjalanan menuju Ansus bisa memakan waktu 4 hari berlayar dari Halmahera Barat, tempat dimana migran Suku Ansus tinggal di Maluku Utara.
"Untuk merasakan proses ini peneliti mencoba menyusur beberapa kali dengan pola yang sama bersama diaspora Ansus yang ada di Halmahera. Ini tentu menjadi luar biasa ketika bisa disajikan dalam film dokumenter 30-40 menit," ucap Suwarno.
Sementara Koes Yuliadi menyebutkan Ainuai sebagai film dokumenter eksperimental yang bukan hanya menceritakan, melainkan mengajak kita merasakan aliran waktu. "Time Image terasa saat adegan panjang adanya angin dan ombak yang dikuatkan pengalaman sensori," paparnya.
Baca Juga: Made Dwipanti Catat Sajarah Jadi Sekda Perempuan Pertama DIY, Sultan Pesankan Hal Ini