Krjogja.com - Di usianya yang baru 16 tahun, Warti (16) memikul beban yang terlalu besar, menjadi ibu, tulang punggung ekonomi keluarga, sekaligus korban dalam rumah tangganya sendiri.
Sedangkan si suami, Supri, alih-alih memberi nafkah, justru larut dalam judi online. Lebih parah, kerap melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Baca Juga: Gaungkan Hak - Hak Anak STAPA Center Gelar Funtastics Day di SDN 3 Palar
Kondisi lelah fisik dan psikis berdampak pada air susunya. Stress dan gizi buruk membuatnya tubuhnya tidak bisa memproduksi ASI. Warti gagal menyusui Cahyo, bayinya.
Dari balik tumpukan bulu mata palsu yang ia rangkai untuk bertahan hidup, Warti mencari kekuatan untuk mengambil keputusan. Tetap bertahan dalam rumah tangga toxic, atau pergi demi kehidupan yang lebih layak bagi dirinya dan sang buah hati.
Film berjudul Judheg (Dalam Bahasa Indonesia artinya penat, atau judul internasionalnya Worn Out) itu itu bergenre drama. Dengan durasi 117 menit, film itu mengangkat isu pernikahan dini, ASI, kemiskinan, dan kesehatan mental ibu muda.
Diproduksi di desa Tunjungmuli kecamatan Karangmoncol Purbalingga. Seluruh dialog dalam film yang dirilis tahun 2025 itu, menggunakan Bahasa jawa banyumasan.
Film berdurasi 117 menit ini berkisah tentang Warti (Diperankan Darti Yatimah), seorang gadis 16 tahun yang telah menikah dini dan menjadi ibu muda. Digulung kemiskinan dan tekanan hidup, Warti berjuang menyusui bayinya, Cahyo (Adzfar AI Kautsar), meski stres dan gizi buruk membuat ASI-nya tak keluar.
Judheg menyoroti bagaimana tubuh perempuan merekam luka sosial dan emosional, tetapi juga menyimpan daya hidup yang luar biasa. Film ini menjadi potret getir tentang perempuan muda yang kehilangan masa remajanya, namun tetap berjuang memberi kehidupan terbaik bagi anaknya.
Film mengangkat isu yang jarang disentuh secara mendalam. Yakni pernikahan dini, kemiskinan, dan kelelahan ibu muda dalam menjalani peran ganda sebagai istri, ibu, sekaligus tulang punggung keluarga. Kisah tentang tubuh, luka, dan Keteguhan ibu usia belia.
Diproduksi oleh Rekam Films, Judheg mencatat sejarah sebagai film panjang pertama dari Purbalingga atau Banyumas Raya yang menggunakan bahasa Banyumasan (Ngapak) sebagai bahasa utama, menjadi simbol kebanggaan terhadap bahasa ibu dan akar budaya lokal.
Film ini juga melibatkan pemain dan kru yang seluruhnya berasal dari Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Banjarnegara.
Rekam Films merupakan rumah produksi berbasis di Depok. Didirikan oleh Yuda Kurniawan dan Misya Latief, Rekam Films dikenal lewat karya-karya dokumenter dan film fiksi yang berangkat dari realitas sosial, seperti Balada Bala Sinema (2017), Nyanyian Akar Rumput (2018), Roda-Roda Nada (2022), Harmoni (2024) dan lainnya.