Krjogja.com - YOGYA - Kalyana Shira Foundation memutar film berjudul Jagad’e Raminten yang menyoroti kehidupan dan warisan sosok Raminten sebagai salah satu ikon Yogyakarta. Film berdurasi 95 menit dengan konsep dokumenter ini menggambarkan perjalanan Raminten yang tidak hanya dikenal sebagai pengusaha sukses dengan berbagai usaha seperti toko oleh-oleh, restoran, batik dan pertunjukan cabaret, tetapi juga sebagai ruang aman bagi komunitas yang inklusif.
Penayangan perdana film tersebut dilaksanakan di Auditorium LIP Yogyakarta, Minggu (22/6/2025) malam dan dihadiri oleh lebih dari 250 undangan termasuk keluarga besar Raminten, komunitas pecinta film, aktivis dan seniman lokal Yogyakarta maupun nasional. Film ini tidak hanya mengangkat warna-warni dunia Raminten, tetapi juga memotret perjalanan sang pendiri, Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Tanoyo Hamijinindyo atau yang lebih dikenal sebagai Hamzah Sulaiman.
Baca Juga: ISI Kolaborasi dengan SNU Korea, Kuliah Umum Perguruan Seni Hadapi Perkembangan AI
Dalam membentuk Raminten, Hamzah Sulaiman tidak hanya menjalankan bisnis, namun membina sebuah keluarga besar termasuk di dalamnya karyawan, penampil pertunjukan, serta keluarga dan para sahabat. Film ini disutradarai oleh Nia Dinata yang juga sebagai penulis, Dena Rachman sebagai produser dan penulis, serta Melissa Karim sebagai co-produser.
Nia Dinata menyampaikan, gagasan membuat film dokumenter ini sudah ada sejak tahun 2023, ketika Dena masih berada di London menyelesaikan disertasinya tentang representasi dalam industri film Indonesia. Muncul sosok Raminten dalam benak mereka sebagai wujud nyata dari representasi keberagaman dan unconditional love.
"Melalui Raminten, kita belajar bahwa ketulusan dan penerimaan terhadap perbedaan dapat tumbuh menjadi kekuatan yang memperkuat rasa kemanusiaan. Melalui film ini juga kami bersama seluruh keluarga dan sahabat hendak memberikan penghormatan pada almarhum Hamzah Sulaiman. Sungguh sebuah kehormatan besar bagi kami dapat membawa kisahnya ke mata dunia," ungkap Nia Dinata pada wartawan.
Baca Juga: Lagu 'Analisaku' Ketika Suara Kayu Menyusun Nada dari Rasa Cemas dan Cinta
Dalam kesempatan yang sama, Dena Rachman yang juga terlibat dalam proyek ini sebagai produser dan penulis menyampaikan bahwa keterlibatannya merupakan bentuk upaya untuk menyebarkan simbol kasih, kebaikan dan keberanian dalam mengekspresikan diri di tengah norma-norma yang ada. Lebih dari sekadar hiburan, Raminten dinilai sebagai sosok yang menyediakan rumah bagi banyak kaum marginal terutama bagi chosen family mereka.
"Sosok Raminten tidak hanya memperjuangkan inklusivitas di atas panggung, tetapi juga dalam kehidupan nyata dengan menciptakan penghidupan yang layak dan berkelanjutan. Kami merasa terdorong untuk mengabadikan warisan ini dalam sebuah karya yang dapat terus menginspirasi. Saya sangat trenyuh ketika melihat karangan bunga di depan Hamzah Batik, katanya dari bapak-bapak becak yang merasa terbantu dengan adanya Raminten. Untukku ini luar biasa bagaimana beliau memberikan hidup untuk banyak orang," tambah Dena.
Sementara, Melissa Karim, Co-produser menambahkan, perjalanan membuat dokumenter ini sangat menyentuh dan penuh makna. Ia ingin menangkap esensi sejati Raminten sebagai ikon budaya dan bisnis sekaligus sosok visioner yang membuktikan bahwa pelestarian tradisi bisa berjalan beriringan dengan inovasi dan economic empowerment.
"Raminten menciptakan ekosistem yang memberdayakan banyak orang, membuka lapangan kerja, dan menjadikan kesenian sebagai sumber penghidupan," tambahnya.
Yang membuat film ini semakin istimewa adalah karena Jagad’e Raminten merupakan persembahan terakhir, sebuah kado penuh cinta dari teman-teman dan keluarga besar untuk mendiang Hamzah Sulaiman. Meski Hamzah Sulaiman telah berpulang sebelum film ini sempat dirilis, semua yang terlibat tahu bahwa sosok Hamzah sangat menantikan hadirnya kisah ini untuk disaksikan masyarakat luas.
"Film ini adalah cara untuk meneruskan warisan Raminten, menyebarkan cinta, kepedulian, dan semangat inklusivitas, khususnya bagi masyarakat Yogyakarta yang begitu dekat di hati beliau. Bagi kami, dokumenter ini bukan sekadar karya film, tetapi sebuah bentuk penghormatan penuh cinta untuk sosok Bapak kami, almarhum Hamzah Sulaiman. Beliau adalah cahaya bagi begitu banyak orang, baik sebagai pemimpin, sahabat, maupun figur ayah bagi keluarga besar Raminten. Kami sangat tersentuh dan merasa terhormat kisah hidup dan warisannya diabadikan dalam dokumenter ini. Kami berharap film ini dapat menyentuh hati masyarakat Indonesia, khususnya warga Jogja, seperti halnya Bapak telah menyentuh hidup banyak orang dengan kasih dan kebaikannya," tambah Ratri, Director of House of Raminten.
Pemutaran kedua dari film dokumenter Jagad’e Raminten akan dilaksanakan di panggung ARTJOG 2025 yang berlokasi di Jogja National Museum pada 5 Juli 2025. (Fxh)