Mimit adalah sosok yang keras kepala. Begitulah beberapa rekan kerja menilainya. Ia begitu teguh dengan prinsipnya, salah satu wujudnya adalah 'minggat' dari ingar bingar ibukota dan membenahi desa kelahirannya.
Setelah menunggu sekitar setengah jam, Hermitianta Prasetya Putra (34) yang kerap disapa Mimit datang menggunakan motor matik dan menenteng kamera DSLR miliknya. “Tadi telat habis melayani komplain warga tentang penyesuaian tarif sampah sama motor roda tiga pembawa sampah mogok,†jelasnya tanpa diminta saat ditemui Sabtu (7/3/2020).
Pria berambut gondrong ini menjabat sebagai Direktur Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Mukti Lestari sejak Agustus 2019 lalu. Bersama timnya ia merumuskan program utama Konservasi Poncosari (Konco) yang diturunkan menjadi tiga unit usaha. Ketiganya yakni Konco Pilah (pengelolaan sampah), Konco Plesir (pengelolaan pariwisata), dan Konco Pasar (pengelolaan wirausaha desa). Berhubung baru satu yang efektif berjalan yakni Konco Pilah, maka kini hari-harinya berkutat dengan sampah.
Sosok yang lekat dengan kamera ini kembali ke desa kelahirannya setelah mengadu nasib di perantauan. Ia mengawali karirnya di Jogja, menjadi wartawan foto di Radar Jogja dari tahun 2008 hingga 2010. Pengalaman kerja pertamanya itu dilakukannya sejak sebelum menuntaskan gelar sarjananya di Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Bosan di Ibukota Pilih Gabung Karang Taruna
Selepas lulus pada tahun 2010, ia merantau ke Jakarta mencari pengalaman sebagai fotografer lepas. Nyatanya, gemerlap ibukota tak membuatnya betah menetap.Hanya dua tahun sebelum ia akhirnya memilih pulang ke Bantul pada 2013, setelah merasa bosan hidup di kota. Ia sebenarnya berpikiran untuk menjadi petani saat kembali, namun kedua keluarga besar tak merestuinya. “Kalau mereka sih yang penting saya jadi PNS,†ungkapnya sambal tertawa.
Masih di tahun yang sama, ia akhirnya memilih bergabung dengan Karang Taruna dengan harapan bisa memberikan banyak kontribusi ke Desa Poncosari, Srandakan, Bantul. Selain itu juga sebagai cara alternatif agar ia tetap bisa tinggal di desa meski dilarang bertani.
Nyatanya, bergabung dengan Karang Taruna tak semudah yang ia kira awalnya. Proses adaptasi dengan suasana desa yang lama ditinggalkannya ini cukup membutuhkan waktu.
Meski ber-KTP desa Poncosari namun sejak usia enam tahun ia telah pindah tempat tinggal ke Banguntapan, Bantul yang berjarak 35 kilometer dari sana.
“Semenjak pindah, ke Poncosari paling saat lebaran aja, walaupun masih sama-sama Bantul, “ ungkap pria kelahiran 21 Februari 1986 ini.
Dirikan Bumdes, Pengelolaan Sampah Jadi Pilihannya
Tiga tahun berselang, ia kembali bertemu kesempatan untuk hijrah, kali ini ke Papua berkat tawaran riset dari UGM dan juga program pemberdayaan masyarakat pelosok dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dirinya merasa tertantang untuk mempelajari kehidupan masyarakat di daerah tertinggal, tedepan, dan terluar Indonesia.
Ia berada di Papua pada tahun 2016 hingga 2018. “Di Papua aku belajar banyak soal kehidupan desa dan bagaimana pengelolaannya,†tambahnya.