KERENTANAN status tanah dan semakin hilangnya ruang hidup bersama sedang menjadi ancaman di Daerah Istimewa Yogyakarta. UU Keistimewaan bagi propinsi ini telah disalahgunakan untuk upaya pengalihan tanah yang telah didiami oleh rakyat dengan klaim Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG). Penertiban dan penataan SG dan PAG misalnya, telah terjadi di Gunung Kidul atas kerjasama Kabupaten dan pihak Keraton. Tanah yang dikategorikan sebagai SG dan PAG wajib mengurus surat Kekancingan. Bagi pihak Keraton permohonan seperti ini akan menguntungkan, karena keputusan pengabulannya ada pada Keraton dan tanah bisa jadi diserahkan kembali atau statusnya dipinjamkan/disewakan. Peruntukan hak atas tanah menjadi sepenuhnya di tangan Keraton.
Surat Kekancingan ditolak di beberapa tempat, misalnya Parangkusumo, Blunyahgede, Watukodok, dan Pesisir Kulonprogo dan beberapa tempat di Yogyakarta, dengan dasar hukum bahwa SG dan PAG sudah dihapus oleh UUPA Diktum IV, PP No. 224 Tahun 1961, Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 1984, dan Perda DIY No. 3 Tahun 1984. Modus peralihan tanah ini bisa direproduksi di seluruh kabupaten/kota di DIY.  Tidak terkecuali kampung-kampung di daerah bantaran Kali Code, seperti Ledok Tukangan.
Ledok Tukangan, Kampung tua di bantaran Kali Code ini memiliki sejarah yang panjang, sehingga sampai saat ini mereka tetap berupaya menjaga integritas kampungnya, baik secara fisik maupun budaya. Oleh karena itu, mereka menggelar sebuah ritus ziarah ari-ari yang menunjukkan ikatan warga dengan tanah kelahirannya. Orang jawa percaya akan eksistensi sedulur ari – ari yang selalu mendampingi seseorang dimana saja dan kapan saja selama orang itu masih hidup. Dia ditugaskan oleh kekuasaan alam untuk selalu setia membantu. Bagi orang Jawa ’sedulur’ tadi harus diruwat, dirawat dan dihormati. Mereka semua dianggap ‘pamomong’ atau penjaga manusia. Â
Lewat pagelaran ziarah ari – ari diharapkan warga kampung dan masyarakat luas dapat kembali melekatkan dirinya dengan ruang hidupnya, serta mengenali akar sejarah kampung. “Selama ini masyarakat modern sudah lupa mendoakan ari-ari yang notabene saudara kembar mereka dalam budaya Jawa. Tentunya melalui ziarah ari-ari ini kita semakin tahu tentang kelahirannya, hak tanahnya, dan pentingnya menjaga tanahnya, “ungkap Anang Nasichudin, warga Ledok Tukangan RW 13.
Ziarah ini akan digelar pada hari minggu, 30 Oktober 2016, dari pukul 09.00 WIB sampai selesai di Kampung Ledok Tukangan RW 03. Pada ziarah ini, warga Ledok Tukangan RW 03 akan berjalan sepanjang kampung dengan rute : Masjid Istiqomah - Pos Ronda - Rumah pak Tono – Joglo - Lapangan Ngaglik - Rumah Pak Pangarso – Mbelik – Masjid Istiqomah. Di setiap tempat tersebut akan digelar sebuah pertunjukan singkat dalam bentuk shalawatan, penggalan ketoprak, tarian, pembacaan sejarah kampung, dramatic reading, pantomim, dan lain-lain. Seluruh penampil adalah warga Ledok Tukangan RW 03. (*)