Belakangan ini dunia perfilman Indonesia berkembang pesat, dan banyak nama-nama besar di dunia film yang berasal dari Yogyakarta. Pesatnya perfilman ini tentunya merupakan kontribusi dari beberapa festival film yang digelar di Yogyakarta. Lewat sebuah festival film, para pelakunya bisa saling bertemu dan saling berbagi karya,mencari distributor, memperluas jaringan, membuat jejaring antar komunitas film, dan tentunya mendapat penonton lebih banyak. Pada Minggu (5/8/2018) hadir sekaligus perwakilan dari tiga festival yakni; Jogja- NETPAC Asian Film Fest (JAFF), Festival Film Dokumenter (FFD), Festival Film Pelajar Jogja (FFPJ). Mereka berbagi seluk beluk mengenai ‘Film dan Festival’.
Pada Senin (6/8/2018) hadir dua perwakilan, yakni Festival Musik Tembi (FMT) yang kini sudah memasuki tahun ke-8. FMT konsisten memberikan ruang apresiasi, dan wawasan bagi komposer dan musisi yang ingin menciptakan dan memperdengarkan karyanya tanpa sekat genre kepada masyarakat; untuk menjadi bagian dalam ‘laboratorium’ bersama yang bertujuan mencari identitas musik Indonesia melalui ragam bunyi-bunyian nusantara. Kali ini FMT berbagi tentang ‘Lika Liku Laku Festival’. Di sesi kedua hadir Tattoo Merdeka yang bercerita tentang ‘Tattoo & Kepedulian’. Setiap tahunnya gelaran Tattoo Merdeka melakukan pagelaran seni yang disertai dengan aksi sosial.
Pada Selasa (7/8/2018), Risky Sasono dari LARAS – Studies of Music in Society mengadakan forum ‘Historiografi Musik Indonesia: Narasi apa, Kisah siapa?’. Risky akan mengundang para pelaku musik di antaranya; Komunitas Alamanda, Lex Rost, Batas, Sande Monink, Jogja Brebeg, hingga beberapa musisi Jogja seperti; Black Boots, Teknoshit, Endank Soekamti, dan lainnya.
LARAS – Studies of Music in Society adalah sebuah komunitas studi tentang musik dalam masyarakat yang berdiri sejak. LARAS berangkat dengan menelisik kelindan musik dalam masyarakat melalui berbagai program yang melibatkan peneliti, praktisi musik serta akademisi. Mengandeng publik untuk melihat isu-isu terkait keberadaan musik dalam masyarakat, aktivitas LARAS meliputi kajian-kajian yang beragam serta diseminasi informasi.
Pada hari terakhir di rangkaian Panggung Belakang ini, Rabu (8/8/2018) bakal hadir dua perwakilan, yang pertama adalah Bosan Berisik Lab dengan tema ‘Re-Introduction’. Bosan Berisik adalah sebuah kelompok kerja kreatif yang mulai digagas pada tahun 2012. Sejak awal berdirinya, kelompok ini mencoba melakukan praktik kreatif dan kesenian dengan semangat yang eksperimentatif. Setelah menjadi yayasan, Bosan Berisik menggagas laboratorium kreatif yang digerakkan dengan semangat eksperimen dan eksplorasi ide serta pengetahuan lintas disiplin seni dan sastra. Menjadi penutup rangkaian Panggung Belakang adalah Yayasan Bienalle Yogyakarta yang membahas tentang ‘Tamasya Hiperealitas’.
Direktur Program Pertunjukan FKY 30 Ishari Sahida mengutarakan bahwa Panggung Belakang menjadi ruang bertemunya para Direktur Festival dengan seniman-seniman muda yang disiplinnya sejalan. Misalnya seniman dengan disiplin seni rupa akan bersinggungan dengan Jogja Biennalle, seniman multimedia dan film maker bisa bertemu dengan penyelenggara dari JAFF atau FFD, dan seniman musik tradisi bisa bertemu dengan Festival Musik Tembi.
“Harapannya di FKY 30 ini bisa memfasilitasi seniman untuk mengembangkan karyanya, dimana karya mereka bisa didistribusikan di festival lain yang spesifikasinya lebih bagus. Karena FKY memang bertujuan menjadi etalase bagi para seniman di Yogyakarta,†ujarnya.(*)