KUASAÂ ada di mana-mana. Kekuasaan tidak dilahirkan dari moncong senapan atau 1cm dari kilatan pedang. Kuasa ada di dalam sistem hukum, etika, budaya, dan dapat dioperasikan siapa saja. Rumusan Michael Foucault itu kiranya tepat melukiskan Bloom In Diversity, pameran kolaborasi antara puluhan perupa muda Institus Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan Institut Teknik Bandung (ITB) di Sangkring Art Project, Nitiprayan, Bantul Jumat (25/3/2017) hingga Minggu (27/3/2017).
Titik temu antara karya perupa dengan teori kuasa Foucault terlihat di tujuan pameran kolaborasi. Rain Rosidi selaku kurator membeberkan bahwa karya perupa muda ini hadir sebagai respon terhadap mereka yang menggerus keberagaman di Indonesia. Minoritas dipaksa minggir berkedok identitas dalam produk hukum dan budaya. Karya adalah bentuk perlawanan kuasa terhadap realita kekinian.
"Tiap karya di sini adalah pernyataan mereka masing-masing terhadap realita yang terjadi saat ini di mana keberagaman mulai terkikis. Diversity yang dimaksud di sini adalah kondisi yang terdiri dari berbagai elemen yang berbeda. Mekar dalam keberagaman adalah upaya agar bangsa ini belajar demokrasi," jelasnya.
Foucault membeberkan bahwa tiap individu punya jalan menunjukkan kuasanya. Misalnya etika makan dengan tangan kanan adalah bentuk operasi kuasa lantaran jika dilakukan sebaliknya maka dicap tidak etis atau tidak punya sopan santun. Ukuran itu membuat individu menurutinya dan secara tak langsung masuk dalam teori kuasa postmodernisme (bukan machievelian). Begitu juga dengan karya dalam pameran kolaborasi ini yang melakukan perlawanan terhadap produk kuasa wacana.
Seperti karya Fae Puspita berjudul "If i Were Here" yang membincang nasib perempuan. Menggunakan teknik digital printing, ia memasukkan morfologis wajahnya ke dalam berbagai karakter rupa perempuan dunia, dari Kartini sampai Monalissa. Perempuan, dari zaman kegelapan hingga sekarang dibentuk oleh etika dan budaya masing-masing.
Saat zaman kegelapan, perempuan yang melahirkan dicap sebagai penyihir. Masuk ke dunia modern, perempuan dirumahkan dan hanya sekadar menjadi tenaga kerja cadangan saat masa perang. Ia terus terbungkam dengan berbagai wacana tradisional sampai modern. Sekalipun ada perubahan, hanya fisiknya saja. Tidak hanya karya printing, banyak karya rupa lain yang membincang persoalan keragaman. Seperti instalasi semiotik objek yang juga bertema perempuan yang memaparkan nasib terkurungnya tubuh perempuan dalam kotak.
"Para mahasiswa seni sudah melampui perbincangan dalam dunia seni itu sendiri. Mereka dengan fasih menggunakan berbagai macam media seni sesuai dengan minat dan gagasannya seperti patung, lukisan, sketsa, instalasi, fotografi, kriya dan video. Pilihan itu ditunjukkan untuk ragam identitasnya dalam situasi makin terbukanya sumber pengetahuan," sambung Hakim Faizal salah satu kurator.(Des)