seni-budaya

Tafsir Moderat Adipati Jipang Panolan

Selasa, 1 November 2016 | 10:39 WIB

HIDUP bukan hanya untuk mengejar harta dan kekuasaan. Kesaktian juga bukan hal utama dan segalanya. Apalagi ketika kesaktian itu hanya dipakai untuk saling membunuh.

Begitu pesan Resi Amoro Jantu kepada Raden Kikin dan Dewi Upas. Pesan yang sarat makna filosofis tersebut mengawali Pagelaran Teater Kolosal 'Penangsang Memanah Rembulan' di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, Senin (31/10) malam. Cerita tersebut diambil dari novel karya Joko Santosa yang disutradarai Jujuk Prabowo dan karya naskah Bondan Nusantara.

Raden Kikin merupakan putra Raden Patah Demak yang harus tersingkir dari istana karena adiknya, Raden Trenggana ingin menduduki tahta Demak. Meski sudah menyingkir ke Gunung Kendeng, tapi Trenggana masih terus berusaha menyingkirkan saudaranya tersebut. Hingga akhirnya sebuah peristiwa hebat terjadi di sekitar sungai Bengawan Sore yang menewaskan Dewi Upas dan Raden Kikin.

Sontak peristiwa ini begitu membekas di benak Arya Penangsang. Dada cucu Adipati Jipang ini bergolak ingin menuntut balas saat Amogasidi menceritakan ikhwal kematian orangtuanya yang seharusnya lebih berhak atas tahta Demak Bintoro. Seketika itulah Arya Penangsang berniat menuntut balas kematian orangtuanya.

Langkah penangsang ini sebenarnya juga direstui Sunan Kudus dengan sowannya setelah Amogasidi meninggal. Namun jalan hidup ternyata berkata lain ketika Penangsang harus gugur di medan laga. Tidak seperti pentas ketoprak tradisional yang selalu menggambarkan Aryo Penangsang tewas di medan laga setelah terkena Tombak Kyai Plered yang disarangkan Danang Sutawijaya, pada pementasan ini Penangsang ditafsir lain. Di balik keberingasan Penangsang banyak keutamaan yang dimiliki Adipati Jipang Panolan tersebut.

"Penangsang ada dalam diri tiap manusia. Tinggal bagaimana mengendalikan dan mengarahkannya," ucap Jujuk Prabowo.

Pentas ini menurut Joko Santosa tidak ingin mengulang atau merekonstruksi sejarah. Tapi memberikan tafsir yang dinamis, moderat dan moderen. Sehingga tidak mengeharankan ada tafsir-tafsir yang mungkin tidak seperti tersaji di ketoprak. Dan pentas ini bukanlah sebuah pergelaran tradisional. Melainkan dikemas moderen layaknya pementasan teater pada umumnya. Komunikasi antar pemain juga begitu cair menggunakan pengantar Bahasa Indonesia.

Kepala Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM Dr Aprinus Salam mengatakan teater sebagai puncak dari peradaban manusia. Karena dalam teater mengandung sinergi semua aktivitas kemanusiaaan serta memuat beragam unsur seni. Seperti halnya lakon ini, 'Penangsang Memanah Rembulan' coba menghadirkan tafsir sebagai proses demokratisasi pengetahuan. Pasalnya pengetahuan yang ada selama ini dikonstruksi rezim yang berkuasa sehingga orang lebih banyak mengetahui yang mayor sementara minor lebih dihindari atau disingkirkan.

Halaman:

Tags

Terkini

Ratusan Anak Meriahkan Gelar Karya Koreografi Tari Anak

Minggu, 14 Desember 2025 | 13:00 WIB

'Penelanjangan Drupadi' Jadi Pembelajaran Lewat Tari

Minggu, 14 Desember 2025 | 08:40 WIB

Sembilan Negara Ikuti Jogjakarta Karawitan Festival

Jumat, 5 Desember 2025 | 08:27 WIB

Obah Bareng untuk Anak Sedunia

Minggu, 23 November 2025 | 12:18 WIB