KRjogja.com - YOGYA - Diskusi bertajuk “Susur Galur VI: Komunitas Meluas” menjadi salah satu penutup penting dalam rangkaian Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025, Senin (4/8/2025). Bertempat di Panggung Pasar Sastra, Grha Budaya Embung Giwangan, Taman Budaya Embung Giwangan, sesi yang berlangsung pukul 13.00–15.00 WIB ini mengangkat perbincangan seputar kerja sama internasional dalam ranah komunitas sastra dan literasi global.
Dua narasumber utama hadir dalam diskusi ini, yakni Rony Agustinus, editor dan penerjemah lintas bahasa, serta Elena Ricchitelli, penerjemah dan akademisi asal Italia. Diskusi dipandu oleh Muhammad Qadhafi, pegiat literasi digital yang juga aktif sebagai moderator dalam berbagai forum sastra.
Rony Agustinus membuka diskusi dengan menekankan pentingnya membangun jembatan sastra lintas negara melalui jejaring institusional. Ia menjabarkan berbagai asosiasi nasional dan internasional yang dapat dimanfaatkan komunitas sastra di Indonesia, seperti IKAPI, APPTI, serta jaringan global seperti IPA (International Publishers Association), IBBY, dan ASEAN Book Publishers Association. Ia juga menyoroti peran Jakarta sebagai bagian dari UNESCO Cities of Literature, yang sejak bergabung telah mengirimkan 28 penulis dan ilustrator ke berbagai residensi sastra dunia.
“Kerja sama internasional bukan hanya milik lembaga besar di pusat. Komunitas lokal bisa dan harus mulai menjajaki peluang pertukaran, residensi, dan publikasi luar negeri. Internet bisa menjadi pintu pertama,” ujarnya. Rony juga mendorong penulis dan komunitas untuk lebih proaktif mencari dan memanfaatkan peluang-peluang tersebut, serta menegaskan peran penerbit sebagai penghubung penting dalam proses itu.
Elena Ricchitelli membagikan kisah personalnya sebagai penerjemah dan akademisi dari Italia. Ketertarikannya pada sastra Indonesia berawal dari pengalamannya sebagai mahasiswa pertukaran di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). “Belajar di Jogja memberi saya pemahaman lebih dalam terhadap konteks budaya Indonesia. Novel pertama yang saya terjemahkan ke dalam bahasa Italia adalah Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis,” ujarnya.
Ia juga mengulas sejarah panjang hubungan literasi antara Indonesia dan Italia. Jejak awalnya bahkan bisa ditelusuri sejak era penjelajah Antonio Pigafetta pada 1522, yang sempat menyusun kamus Melayu–Italia. Sejak 1960-an, sejumlah karya sastra Indonesia mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Italia, seperti puisi dan legenda Nusantara yang diterbitkan oleh Alessandro Bausani dan Luigi Santa Maria.
Karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Ayu Utami, hingga Nukila Amal disebut Elena sebagai nama-nama yang mendapat sambutan positif di Italia. Bahkan, puisi-puisi Sitor Situmorang pernah dipublikasikan secara khusus karena kedekatannya dengan Italia. “Indonesia memiliki tempat khusus dalam lanskap sastra Italia, apalagi karena kedekatan budaya yang dibangun lewat pariwisata, khususnya Bali,” tambahnya.
Diskusi ditutup oleh moderator Muhammad Qadhafi yang menekankan bahwa perluasan komunitas bukan hanya soal menjangkau audiens yang lebih luas, tetapi juga memperluas cara pandang, memperkuat jaringan kerja, serta membangun kolaborasi lintas bahasa dan budaya. Menurutnya, ruang digital memang penting, namun interaksi antarmanusia tetap menjadi fondasi utama komunitas sastra yang hidup.
Kepala Seksi Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Ismawati Retno, turut memberikan tanggapan atas diskusi ini. Menurutnya, pembahasan seputar kolaborasi lintas negara menjadi bagian penting dari visi Festival Sastra Yogyakarta sebagai ruang literasi global yang tetap berpijak pada akar lokal.
“Diskusi ini membuka wawasan bahwa komunitas sastra di Yogyakarta memiliki peluang nyata untuk menembus batas geografis. Dari residensi, penerjemahan, hingga jaringan digital, semua bisa menjadi jalan baru untuk memperluas ekosistem sastra. Kami di Dinas Kebudayaan tentu akan terus mendorong komunitas-komunitas lokal agar tidak takut melangkah ke level internasional,” ujar Ismawati.
Diskusi “Susur Galur VI” mempertegas bahwa komunitas sastra Indonesia kini tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat wilayah. Melalui jejaring global, literasi Indonesia bisa menjelma sebagai kekuatan lunak yang menyapa dunia. Masa depan sastra bukan hanya dalam buku, tetapi juga dalam jejaring komunitas yang tumbuh, bergerak, dan berjejaring lintas batas.(*)