Krjogja.com - Di era ketika budaya pop global menguasai layar gawai dan algoritma media sosial, seni tradisional seperti Bendrong Lesung dari Kota Cilegon, Banten, makin jarang terdengar. Dominasi musik K-Pop, EDM, hiphop, hingga tren TikTok membuat generasi Z lebih dekat dengan Korea Selatan ketimbang dengan budaya yang tumbuh di tanah sendiri.
“Gen Z lebih senang dance cover K-Pop atau musik RnB daripada Bendrong Lesung,” ujar budayawan lokal Banten, Rahman Hakim. Ia mengingatkan, jika tidak segera diperkenalkan kembali, seni ini bisa menghilang dari ingatan publik.
Pernyataan itu diperkuat oleh pengalaman Ezar Radiansah, siswa SMA di Banten. “Saya belum pernah tahu Bendrong Lesung itu seperti apa, karena belum pernah lihat di sosial media atau YouTube,” katanya jujur.
Padahal, Bendrong Lesung menyimpan sejarah panjang. Kesenian ini lahir dari kehidupan agraris masyarakat Banten: aktivitas menumbuk padi dengan lesung dan alu. Ritme pukulan itulah yang berkembang menjadi komposisi musik khas. “Bendrong” dalam bahasa Jawa Serang berarti hentakan atau hantaman saat memukul lesung. Kini, seni ini masih bertahan di beberapa titik, salah satunya di Link. Karang Bolong, Desa Randakari, Cilegon.
Namun, di tengah tekanan budaya digital global, Bendrong Lesung justru menemukan napas baru.
Bangkit Lewat Kolaborasi Modern
Melalui Pengabdian Kepada Masyarakat – Program Inovasi Seni Nusantara yang didanai Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan Kemendiktisaintek Tahun 2025, Bendrong Lesung dikemas ulang dengan pendekatan berbeda: kolaborasi lintas disiplin seni.
Untuk pertama kalinya, lesung tidak berdiri sendiri. Ia dipadukan dengan alat musik modern—beat elektronik, instrumen kontemporer, hingga tarian yang lebih dinamis. Hasilnya: pengalaman estetika baru yang tetap menjaga akar tradisinya, tetapi terasa lebih dekat dengan selera Gen Z.
Transformasi ini membuka ruang kreatif baru. Irama pukulan lesung yang dulu barangkali dirasa “kuno”, kini dirangkai dengan ritme modern sehingga terasa segar, urban, bahkan instagrammable. Pendekatan inilah yang membuat Bendrong Lesung tampil bukan hanya sebagai warisan, tetapi sebagai seni yang relevan dan menyatu dengan lifestyle generasi muda.
Tradisi yang Menyapa Masa Depan
Kolaborasi inovatif ini mengajarkan bahwa pelestarian budaya tidak harus terkungkung cara-cara lama. Justru dengan keberanian membawa tradisi ke ruang baru—ke panggung digital, ke format musik modern, ke estetika populer—tradisi lokal bisa menemukan kehidupannya kembali.
Lebih jauh lagi, transformasi ini menciptakan jembatan:
generasi yang tumbuh dengan tradisi bertemu generasi yang tumbuh dengan TikTok, dan keduanya saling bertukar cerita.
Bendrong Lesung yang dulu dipandang sebagai kesenian kampung, kini berpeluang hadir sebagai ikon budaya Banten yang universal—menembus batas ruang, relevan di era global, dan tetap setia pada identitasnya.
Seni ini menjadi bukti bahwa tradisi bukanlah masa lalu yang rapuh, melainkan masa kini yang bisa terus diperbarui. Dan lewat sentuhan inovasi, Bendrong Lesung kini tidak sekadar bertahan—tetapi bangkit sebagai wajah baru budaya lokal yang menatap masa depan. (*)
Oleh: Syamsul Rizal (Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)