Krjogja.com - YOGYA - Street art merupakan karya seni yang sering di salah pahami sebagai vandalisme karena menjadikan ruang publik sebagai medium serta penggunaan alat yang sama. Menggunakan ruang publik, menjadikan street art mudah dijumpai dan disaksikan oleh lalu-lalang manusia sehingga street art dianggap lebih inklusif jika dibandingkan dengan galeri seni.
"Galeri seni itu terkesan lebih eksklusif,jadi orang awam takut untuk masuk. Seolah-olah yang boleh masuk hanya mereka yang paham seni. Berbeda dengan street art, semua orang yang lewat bisa lihat mulai dari petani, pengamen, hingga presiden lewat juga bisa lihat" ungkap Zent Prozent selaku seniman street art kota Jogja ketika diwawancarai pada Jumat (27/6/2025).
Zent Prozent telah menggeluti street art sejak tahun 2004, Pria asal Bangunjiwo, Bantul ini tidak hanya memandang street art sebagai gambar jalanan saja. Lebih dari itu street art merupakan ekspresi dan bentuk kebebasan diri. Selain itu, Zent juga menyangkal anggapan street art sebagai vandalisme.
Baca Juga: ARTJOG 2025, Ketika Seni Menjadi Laku dan Bukan Sekadar Pajangan
"Vandalisme itu coretan yang tidak enak dilihat, sementara street art justru memperindah tembok dan ruang yang kosong pada bangunan. Daripada kosong dan kotor, ada corat-coret nggak jelas, lebih baik justru kita bersihkan terus ditimpa gambar yang bagus dan jadi lebih enak untuk dipandang" ungkap Zent.
Ketika ditanya terkait perizinan street art Zent justru mengungkapkan kemudahan akses yang didapatkan di Yogyakarta. "Jogja itu lebih bebas, beda dari kota lain. Bahkan masyarakat Jogja sudah familiar dengan street art dan grafiti" ujar Zent.
Zent Prozent turut menceritakan pengalamannya bertemu Satpol PP ketika tengah melakukan street art di dinding rumah warga hingga disuguhi minuman dan camilan oleh warga sekitar. Pengalaman Zent ini berbanding terbalik dibandingkan dengan seniman street art di kota lain.
Baca Juga: 'Pohon Hayat' di ARTJOG 2025 Simbol Hidupnya Amalan Seni yang Berkelanjutan
"Satpol PP nya cuma nungguin sambil foto-foto aja bahkan setelah selesai mereka cuma bilang 'bagus Mas' gitu, sama warga juga sering dikasih minum. Beda banget sama di kota lain seperti Jakarta, beberapa seniman di Jakarta cerita kalau mereka sampai ditungguin dan diminta menghapus karyanya" ungkap Zent membandingkan.
Perizinan tersebut membuktikan label kota seni yang melekat di Jogja bukanlah kabar burung. Dikutip dari laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Kemenparekraf telah menetapkan Jogja sebagai kota kreatif di tahun 2024 kemarin.
Label tersebut juga ditunjukkan melalui respons warga Yogyakarta yang tidak lagi menganggap street art sebagai vandalisme atau gangguan. Salah satu warga Jogja, Mutiara menyampaikan kekagumannya mengenai street art di Yogyakarta.
"Aku sendiri sangat menikmati waktu melihat street art atau Graffiti di pinggir jalan, dinding flyover dan dinding terowongan, karena secara pribadi aku juga suka gambar abstrak" ungkapnya. Mutiara juga menambahkan kehadiran street art bukan hanya sebagai keindahan, tetapi juga simbol keberanian.
Salah seorang mahasiswa UGM asal Palembang, Radeya juga mengungkapkan kekaguman serupa. "Di Palembang aku jarang nemu yang seperti itu (street art) paling cuma satu dua aja, tapi kalau di Jogja memang banyak mungkin karena kota seni yaa" ungkap Radeya.