SOLO, KRJOGJA.com - Keberadaan kampung bisa berkembang menjadi sangat politis. Ini terjadi kalau warganya bersatu untuk memperjuangkan kepentingannya. Mereka secara individu menolak menjadi 'sapi perah' kepentingan politik dengan cara praktek money politic.
Sebaliknya warga kampung secara bersama membuat kontrak politik untuk menggolkan apa saja yang menjadi keinginannya. Dengan model seperti ini warga kampung mampu berdemokrasi lebih lama.Â
Mereka melakukan kegiatan demokrasi tidak sebatas di bilik suara.
"Dengan menolak money politic dan membuat kontrak politik, warga tetap bisa berdemokrasi pasca coblosan," jelas Gugun Muhammad dari UPC Jakarta pada Srawung Kampung Kota #2 di kampus Fisip Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rabu (16/10/2018).
Ketika berlangsung pemilu warga muskin suka dijadikan 'sapi perah'. Mereka dininta memilih dengan imbalan tertentu. Setelah itu mereka ditinggalkan. Gugun tidak ingin hal seperti itu terus terjadi. Karena hal itu tidak bisa mengubah. "Kami mencoba menyatukan suara," ujar Gugun.
Ada 125 TPS yang disatukan untuk memenangkan salah satu calon gubernur wakil gubernur DKI. Namun mereka harus menandatangani kontrak politik. Dan sekarang kontrak politik sudah mulai ada wujudnya. Gugun menunjukkan adanya pengaturan becak dan revisi Perda.
"Selain itu draf pembangunan kembali kampung Aquarium. Warga terus bisa mengawal kontrak politik. Inilah wujud warga masih terus bisa berdemikrasi," tambah Gugun. Diskusi yang dipandu Akhmad Ramdhon juga menampilkan Endang Rohjiani pegiat di Kali Winongo Yogyakarta dan Sony Waluya pegiat komunitas untuk siaga bencana di Solo.(Qom)