SOLO (KRjogja.com) - KH Salahuddin Wahid mengatakan terakhir ini politisasi agama bersifat negatif. Politisasi agama lebih bersifat kepentingan kelompok dan untuk kepentingan kekuasaan, bukan lagi sebagai kepentingan negara.
Yang memprehatinkan, kemudian semua orang bilang politisasi agama tidak boleh. "Inilah yang harus kita luruskan," kata Gus Sholah, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur di sela diskusi nasional perspektif pemikiran KH Hasyim Ashary dan KH Ahmad Dahlan di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sabtu (31/3).
Melalui diskusi itu Gus Sholah ingin ada rumusan tentang politisasi agama yang bisa dijadikan pegangan bersama. Mana yang boleh dan tidak boleh termasuk di dalamnya mengetahui batas batasannya. Menjelang Pemilu Legeslatif dan Presiden mendatang diprediksi akan terasa.
"Sekarang masih ada waktu yang cukup untuk membahas dan mensosialisasikan terkait politisasi agama," jelas Gus Sholah. Resolusi jihad pada Oktober 1945 merupakan politisasi agama yang pertama. Waktu itu rasa keIndonesiaan belum ada di hati bangsa Indonesia karena yang ada rasa keIslaman.
Karena dihadapkan ancaman tentara sekutu tokoh ulama NU dipimpin KH Hasyim Ashari membuat fatwa wajib hukumnya bagi pemuda muslim untuk membantu perang Tentara Indonesia. "Itu politisasi agama. Tanpa politisasi agama nggak bangkit kesadaran. Itu positif tujuan yakni untuk membela negara."
Sekarang perkembangannya berbeda, politisasi agama memakai ayat tetapi untuk kepentingan kekuasaan sekelompok orang.Â
Diskusi diawali pembacaan pidato Kapolda Jateng Chondro kirono oleh Kombes Pol Eko Widianto, Dir intel Polda Jateng dan rektor UMS Dr Sofyan Anif MSi. (Qom)
