solo

Pembelajaran Pragmatis Menjadi Mitigasi Ujaran Kebencian

Selasa, 17 Desember 2024 | 14:55 WIB
Prof Dr Muhammad Rohmadi, pakar pembelajaran pragmatik (Qomarul Hadi)

KRjogja.com - SOLO - Pembelajaran pragmatis bisa menjadi mitigasi ujaran kebencian yang kini merebak di masyarakat. "Ujaran kebencian di era digital melalui media sosial (medsos) bisa dimitigasi lewat pembelajaran pragmatis," jelas Prof Dr Muhammad Rohmadi SS MHum kepada wartawan, Senin (16/12).

Disebutkan, pembelajaran pragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang memelajari maksud ujaran yang tersirat di balik ujaran tuturan seorang penutur, yang melibatkan konteks dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Tips Aman Berkendara Saat Liburan ala Honda Istimewa Jogja

Belajar pragmatik adalah belajar memahami maksud dan tujuan penutur kepada lawan tutur, dengan memerhatikan konteks dalam tuturan.

"Melalui pemahaman pragmatik dan pembelajaran pragmatik, akan dapat meminimalisir kesalahapahaman dalam berkomunikasi dalam situasi formal dan nonformal di era digital," tandas Prof Rohmadi.

Pakar pragmatik dan pembelajaran prakmatik Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ini akan dikukuhkan sebagai guru besar Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Rabu (18/12).

Baca Juga: Direct Train Jakarta Yogya Diminati Penumpang, Bakal Terus Ada?

Dalam orasinya Prof Rohmadi akan menyampaikan "Strategi tutur pragmatik sebagai mitigasi berkomunikasi dan berliterasi dengan Ratulisa yang kurang baik & santun dalam multikonteks kehidupan."

Selama ini banyaknya kasus ujaran kebencian dan perundungan yang merebak di media sosial (medsos) dan seringkali memicu konflik korban jiwa. Begitu juga kasus tawuran, carok yang menelan korban jiwa. Itu terjadi di antara penyebabnya adalah akibat masing-masing pihak tidak menguasai konteks ujaran.

Menyinggung kasus ujaran pendakwah Gus Miftah terhadap pedagang es teh, Prof Rohmadi mengatakan kasus itu terjadi karena Gus Miftah sebagai pendakwah menyandang status pejabat publik dan bukan figur publik.

Baca Juga: Optimalisasi Digital Strategi ASDP Hadirkan Layanan Prima Nataru 2024/2025

"Gus Miftah sebagai figur publik pendakwah, dalam pengajian punya kebiasaan menggunakan kata-kata seperti bajingan. Padahal dia sebagai pejabat publik seharusnya menjadi contoh dan teladan (tidak menyampaikan ujaran itu)."

Dalam kasus Gus Miftah, ia kembalimenekankan pragmatik akan bisa memitigasi ujaran kebencian jika konteks ujaran antara Gus Miftah sebagai penutur bisa dipahami bersama.

Bagi orang yang terbiasa dengan gaya humor dalam dakwah Gus Miftah, tidak ada anggapan ujaran kebencian karena paham konteksnya. Seperti pelawak Percil yang terbiasa mengeluarkan ujaran kasar tetapi bisa diterima penontonnya," jelasnya.

Halaman:

Tags

Terkini

KNPI Sragen Prihatin, Slogan Sragen The Land of Mendeman

Minggu, 21 Desember 2025 | 23:10 WIB

Giliran Polisi Kosek Miras, Ratusan Botol Disita

Jumat, 19 Desember 2025 | 11:30 WIB