Ashadi Siregar 'Kecelakaan' Jadi Novelis, Sebenarnya Ingin Jadi Wartawan

Photo Author
- Minggu, 6 Juli 2025 | 11:55 WIB
                  Ashadi Siregar (kiri) menerima batik dari Dedi H Purwadi (tengah) disaksikan Ons Untoro. (Effy Widjono Putro)
Ashadi Siregar (kiri) menerima batik dari Dedi H Purwadi (tengah) disaksikan Ons Untoro. (Effy Widjono Putro)

Krjogja.com - YOGYA - Datang ke Yogyakarta, Ashadi Siregar sebenarnya ingin mewujudkan cita-cita menjadi wartawan. Setamat SMA, laki-laki kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, 3 Juli 1945, ini pun mendaftar di Fisipol UGM.

Tapi cita-cita itu kandas karena justru dikenal sebagai novelis. 'Cintaku di Kampus Biru', salah satu karyanya yang terbit 1972 bahkan sangat populer setelah diangkat ke film layar lebar. Tahun 1970-an, koran yang dipimpin Ashadi dibreidel.

Baca Juga: PDI Perjuangan Kota Yogya Gelar Seminar Praktek Ideologi Pancasila, Ingatkan Walikota dan DPRD Berpihak pada Rakyat

"Menulis novel karena "kecelakaan" saja, tidak jadi wartawan," kata Ashadi pada acara bertajuk 'Kampus Biru Menolak Ayah' di IFI/LIP, Jalan Sagan 3, Yogyakarta, Sabtu (5/7/2025) malam.

Acara ini digelar Sastra Bulan Purnama (SBP) untuk merayakan 80 tahun usia Ashadi. Koordinator SBP Ons Untoro menyebutkan, digelarnya acara ini mengingat Ashadi sosok penting bagi Yogyakarta.

Belajar jurnalisme, Ashadi terbiasa menghadapi realitas. Cita-cita tidak terwujud karena telanjur merantau ke Yogyakarta akhirnya terbenam di kota ini. Bahkan kemudian menjadi dosen di almamaternya, mengajarkan jurnalisme.

Baca Juga: Bangun Budaya Mutu: Unjaya, ABPPTSI DIY, dan LLDIKTI Wilayah V Yogyakarta Gelar Penguatan Kelembagaan Menuju PT Unggul dan Berdampak

Setelah terakhir menulis 'Jentera Lepas' pada 1982, Ashadi tak sempat lagi menulis fiksi. Tetap mengajar, lalu mendirikan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) untuk melahirkan wartawan-wartawan tangguh.

Kepada murid-muridnya, Ashadi menekankan bahwa mendalami jurnalisme adalah menyelami fakta yang jauh lebih berharga daripada fiksi. Itu pun menjadi dasar saat menulis novel, selalu diawali dengan fakta. Dari situ kemudian mengembangkan imajinasi.

Maka, dalam novel 'Cintaku di Kampus Biru' yang penting sebenarnya bukan tentang kisah cintanya, tetapi tentang Yogyakarta yang tentu banyak memaparkan fakta. Dengan menuliskan fakta dan pendeskripsian yang baik, pembaca pun tertarik dan berbondong-bondong ke Yogyakarta.

Rizal Mallarangeng, pendiri Freedom Institute yang ikut menyokong acara malam itu, mengaku kedatangan ke Yogyakarta karena pengaruh karya Ashadi. Padahal laki-laki asal Makassar ini lulusan SMA Ragunan yang khusus olahraga. Rizal memilih melanjutkan kuliah di tempat Ashadi mengajar.

"Mencari Anton di UGM," kata Rizal.

Anton merupakan tokoh utama dalam 'Cintaku di Kampus Biru' yan dalam film diperankan Roy Marten.

Rizal sempat menjadi asisten dosen di almamaternya dengan gaji Rp 25.000, sementara honor menulis di Kedaulatan Rakyat juga 25.000. Namun rupanya Rizal tak bisa menjadi pegawai negeri sebagai dosen di kampus itu karena dikenal sebagai aktivis. Satu nasihat Ashadi yang dikenang Rizal, boleh jadi aktivis tapi tapi tidak boleh meninggalkan intelektualitasnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Ary B Prass

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ulil Albab M.Ikom: Presenter Harus Percaya Diri

Minggu, 2 November 2025 | 19:45 WIB
X