Krjogja.com – PURWOKERTO - Langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mengumumkan pembentukan 500 Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU) menuai sorotan tajam.
Pengumuman ini dinilai prematur dan tidak etis secara politik hukum mengingat norma hukum terkait penyelenggara utama pendidikan dokter spesialis masih dalam proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga: Dimana Beli Bitcoin? Ini 5 Aplikasi Trading Bitcoin Terbaik
Nanang Sugiri, dari tim kuasa para pemohon Perkara Nomor 143/PUU-XXIII/2025, Kamis (23/10/2025) kepada Krjogja.com, di Purwokerto, menyampaikan bahwa reformasi sejati harusnya dimulai dari penegasan norma, bukan menciptakan fakta fait accompli di tengah proses peradilan.
"Pendidikan tinggi hanya bisa kokoh bila berdiri di atas universitas, bukan di bawah bayang-bayang birokrasi pelayanan," tegas Nanang Sugiri.
Perkara di MK menguji Pasal 187 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang membuka peluang rumah sakit menjadi penyelenggara utama (hospital-based education).
Baca Juga: Tujuh Tersangka Ditangkap, Polres Sukoharjo Ungkap Empat Kasus Curanmor
Hal ini dikhawatirkan akan menggeser posisi universitas sebagai penyelenggara utama tunggal, sebagaimana diatur UU Pendidikan Tinggi.
Dalam sidang pada 20 Oktober 2025, Hakim Konstitusi Prof. Saldi Isra bahkan menyoroti frasa “rumah sakit pendidikan dapat menjadi penyelenggara utama” yang dianggap menimbulkan kontradiksi dan merusak asas kepastian hukum.
"Penyelenggara utama seharusnya tunggal. Kata 'dapat' menunjukkan pilihan ganda. Ketidakpastian ini merusak sistem pendidikan tinggi yang sudah mapan," lanjut Nanang.
Meskipun Kemenkes beralasan pembentukan 500 RSPPU adalah jawaban cepat atas krisis dokter spesialis—dengan target produksi 15 ribu spesialis per tahun melalui skema gaji—para pemohon khawatir hal ini akan mengorbankan kualitas.
Menurut Nanang, pendidikan dokter spesialis bukan sekadar pelatihan klinis, melainkan pendidikan akademik dan profesi lanjutan yang bertumpu pada riset dan inovasi.
"Ketika rumah sakit diberi status penyelenggara utama, posisi universitas terdegradasi. Konsekuensi seriusnya adalah hilangnya integrasi akademik dan runtuhnya standar mutu ilmiah," jelasnya.
Pengumuman ratusan RSPPU di tengah proses hukum juga dikritik sebagai gejala inversi politik hukum pendidikan: kebijakan yang mendikte norma, alih-alih norma menjadi dasar kebijakan.