Dia kehilangan figur seorang ayah. Ibunya yang masih muda, putih dan cantik, seringkali di goda oleh pemuda-pemuda pengangguran di lingkungan tempat tinggalnya. Sebagai seorang anak, dia tidak terima ibunya diperlakukan sedemikian.Â
Dia ingin marah. Dia ingin berontak. Tapi dia tak berdaya. Disatu sisi dia punya masalah lain, yang dia tidak ceritakan pada ibunya. Dia tiap hari “dipalak†dan harus setor  dua ribu rupiah pada seseorang.Â
Kadang dia juga dipaksa untuk pergi ke â€game on lineâ€. Dia bercerita tanpa ekpresi. Mengalir datar. Seolah mati rasa. Tanpa darah. Sementara itu aku sebagai guru yang juga seorang ibu tak sanggup mendengar cerita selanjutnya.Â
Aku terhenyak. Terdiam tanpa kata. Mataku berkaca-kaca. Aku hanya mampu membelai kepalanya dengan doa. Ya Allah, berilah kekuatan dan jalan keluar dari masalah ini. Betapa anak seusia ini harus menanggung beban sedemikian.Â
Aku mencoba berkonsultasi dengan psikolog sekolahku. Beberapa alternatif kami diskusikan, salah satu diantaranya adalah pindah rumah. Tapi ternyata setelah kami sampaikan pada keluarganya, ternyata hal itu tidak bisa dilaksanakan karena masalah finansial.Â
Akhirnya setelah diskusi panjang lebar, kami mencoba untuk memberikan penguatan secara fisik dan mental agar murid kami ini mempunyai karakter yang tangguh, dan religius maka beberapa pendampingan dan juga kegiatan yang positif kami berikan.
Â
Selaku wali kelas aku selalu memberikan motivasi dan dukungan agar dia kuat terhadap pressure lingkungan. Sementara itu guru agama memberikan penguatan mental spiritual dan bimbingan untuk pelaksanaan ibadah yang lebih bermakna.Â