Seorang ibu separuh baya. Mungkin kesal menunggu. Aku keluar kelas, aku sapa beliau, aku jabat tangannya, dan aku sampaikan permohonan maafku mengapa putranya sedikit terlambat pulang.Â
Aku sampaikan beberapa hal tentang putranya, agar kami dapat bersinergi dalam mengoptimalkan potensinya. Hmmm…ternyata aku salah. Beliau bukan ibunya. Beliau adalah neneknya.Â
Neneknya hanya menyampaikan bahwa ayah kandungnya ada di Jakarta, sementara ayahnya yang sekarang ini adalah seorang pelayar yang jarang pulang. Neneknya terpaksa mengantar jemput cucunya, karena ibu anak ini adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki anak balita di rumah serta tidak mungkin ditinggal karena tidak punya pengasuh.Â
Selain itu, ibu itu tengah mengandung anak yang ketiga. Aku syukuri pertemuan siang itu memberikan sedikit gambaran mengapa sesuatu itu terjadi.Â
Keesokan harinya aku mencari dia di kelasnya. Pagi-pagi aku menunggunya. Aku ingin sedikit bicara dengannya. Paling tidak, aku bisa mendengarkan cerita dari sisi dia sebagai seorang anak.Â
Mungkin juga keluh kesahnya. Atau bahkan tentang pandangannya kepadaku sebagai guru. Mungkin dia marah karena aku hukum kemarin.Â
Sedikit salam, senyum dan jabat tangan aku berikan padanya saat mengawali pembicaraan tentangnya. Tanpa aku duga begitu banyak cerita yang dia sampaikan. Seperti air bah mengalir tumpah. Menyeruak, menyesak dada, tak terbendung.Â
Dia datang dari keluarga yang tidak utuh. Ayah ibunya bercerai saat dia masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK). Ayah kandungnya kemudian tinggal di Jakarta. Ibunya kemudian menikah lagi dengan seorang pelayar, yang karena itu pula jarang pulang ke rumah.Â