KRJOGJA.com - Jakarta - Perguruan tinggi negeri harus mewaspadai potensi persaingan dengan perguruan tinggi asing.
Pelaksana Harian (Plh.) Direktur Humas, Media, Pemerintah, dan Internasional Universitas Indonesia (UI), Emir Chairullah, kepada wartawan di Jakarta, Jumat (13/6/2025). dalam diskusi bersama Forum Wartawan Pendidikan (Fortadik) menjelaskan karena minat masyarakat dari latar belakang ekonomi menengah ke atas berpotensi bisa beralih ke perguruan tinggi asing yang berdiri di Indonesia.
Emir menyoroti peristiwa kedatangan Utusan Khusus Perdana Menteri Inggris Urusan Pendidikan, Prof. Sir Steve Smith, dan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Dominic Jermey, di kediaman Presiden Prabowo di Hambalang, Bogor, pada Jumat (30/5/2025). Perwakilan pemerintah Inggris tersebut menyatakan ketertarikan mendirikan universitas asal Inggris di Indonesia kepada Prabowo.
Baca Juga: PSIM Ajukan Penggunaan Stadion Maguwoharjo dengan Penonton, Minta Kelonggaran LIB Tentukan Kandang
Menurut Emir, kehadiran kampus asing di Indonesia perlu disikapi secara serius karena berpotensi mengalihkan minat masyarakat, terutama kelompok ekonomi menengah ke atas, dari kampus lokal ke institusi pendidikan luar negeri yang memiliki sumber daya lebih besar. "Pasarnya orang Indonesia, terutama yang dalam tanda kutip berduit itu, bakal teralihkan ke kampus-kampus yang masuk mendirikan kampus di sini. Apalagi modal mereka (perguruan tinggi asing) kan kuat," ujar Emir.
Ia menambahkan, dalam kondisi dukungan anggaran yang terbatas dari pemerintah, kampus-kampus negeri seperti UI harus siap bersaing secara langsung. Salah satu strategi yang dilakukan UI adalah menjalin kolaborasi internasional, seperti program gelar ganda (double degree). Program ini dinilainya dapat menjadi alternatif untuk menahan arus devisa yang keluar melalui pendidikan tinggi asing.
"Yang paling mungkin dilakukan UI saat ini adalah kolaborasi, bikin double degree, supaya tidak semua devisa langsung ke kampus-kampus asing itu," katanya.
Baca Juga: Pacu Ekonomi Syariah, PBNU Gandeng Singapura
Emir menyebutkan bahwa keberadaan kampus asing, jika tidak dikelola dengan baik, berisiko mendorong keluarnya devisa secara besar-besaran dari sektor pendidikan tinggi. “Kalau semua orang memilih kuliah di institusi asing, entah di luar negeri atau kampus asing yang buka di Indonesia, otomatis devisanya lari ke mereka,” ucapnya.
Ia juga menyoroti tantangan finansial yang dihadapi kampus negeri saat ini. Menurutnya, bergantung sepenuhnya pada Uang Kuliah Tunggal (UKT) atau Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) tidak lagi cukup untuk menopang operasional kampus.
"Kalau cuma mengandalkan UKT atau SPP itu, kampus sudah tidak bisa hidup. Makanya mungkin ada yang bilang ini komersialisasi, padahal sebenarnya tidak juga. Yang (jalur) reguler tetap berlaku, tidak diabaikan," ujarnya. "Tapi kampus harus mampu untuk berinovasi. Kampus luar negeri juga begitu. Bahkan Harvard pun ternyata dapat subsidi dari pemerintah."
Baca Juga: Dorong Sektor Produksi Bergeliat, BRI Salurkan KUR Rp 69,8 T ke 8,3 Juta Debitur UMKM
Emir mencontohkan bahwa meski dianggap sebagai institusi swasta elite, universitas seperti Harvard tetap menerima dukungan negara. Hal ini ia katakan dengan merujuk kepada peristiwa beberapa waktu lalu dimana Harvard University tampak 'menjerit' karena dana hibah yang dipangkas oleh pemerintahan Donald Trump.
“Saya pikir Harvard murni dana swasta. Ternyata ada dana pemerintah di situ juga. Artinya, negara tetap harus hadir. Tidak bisa semua diserahkan ke kampus untuk cari duit sendiri. Berat,” katanya.