Ketika Mahasiswa Merasa Kehilangan Gelanggang: Suara-suara dari Balik GIK UGM

Photo Author
- Jumat, 11 Juli 2025 | 16:22 WIB
Dari kiri, bangunan GIK UGM sekarang dan Gelanggang Mahasiswa UGM sebelum dirobohkan. (Foto: Website UGM dan UKM UGM)
Dari kiri, bangunan GIK UGM sekarang dan Gelanggang Mahasiswa UGM sebelum dirobohkan. (Foto: Website UGM dan UKM UGM)

"Ya, seperti sekarang ini, yang dimana sekarang aku lihat ya teman-teman UKM tuh mungkin masih belum akrab satu sama lain. Nah, dimana sebetulnya, kalau misalnya, kita pengen apa ya melihat seperti gelandang zaman dulu ya, satu satu antar UKM dan semua UKM pun ya akrab kayak gitu kenal dan dan ya mereka kolaborasi bareng." Ujar Mas Kobe menyayangkan dinamika UKM yang tidak seakrab dulu.

Baca Juga: Departemen Pengembangan Masyarakat Desa BEM KM UGM Gelar Program Abdi Desa di Kalurahan Donoharjo

Namun, kehilangan yang dirasakan oleh UKM UGM tidak hanya sebatas kehilangan keakraban. Menelisik lebih dalam, Gelanggang Mahasiswa bukan sekadar bangunan, Gelanggang Mahasiswa sendiri merupakan semacam basis nilai yang kuat karena kultural dan dinamika yang ada di satu tempat. Dari situ, Gelanggang memiliki sejarah panjang dan memiliki nilai-nilai yang turut hancur saat bangunnya dihancurkan. Dirobohkannya bangunan Gelanggang Mahasiswa seolah ditujukan untuk mendekonstruksi nilai-nilai yang terbentuk di dalam Gelanggang Mahasiswa. Hal ini menyebabkan UKM-UKM yang kini bergabung menjadi a-historis, tidak mengetahui sejarah panjang UKM dan nilai-nilai humanis yang ada di dalamnya. Sikap a-historis ini lah menyebabkan mulai pudarnya nilai-nilai humanis dan apatis sehingga membuat mahasiswa menjadi lebih individualis. Individualisme ini menyebabkan gerakan-gerakan aktivisme pada mahasiswa mulai menurun.

Perkembangan karier yang serba cepat membuat mahasiswa lebih memilih untuk melakukan magang untuk persiapan karier dibandingkan berdinamika dalam sebuah organisasi, khususnya UKM. Dirobohkannya Gelanggang Mahasiswa untuk membangun GIK dengan tujuan mendorong industrialisasi seolah menjadikan mahasiswa hanyalah komoditas mesin pekerja untuk industrialisasi di masa depan, bukan menjadi pemikir kritis untuk mengkritisi segala permasalahan sosial yang terjadi. Nilai-nilai aktivisme yang sebelumnya terbentuk, perlahan-lahan direduksi dan diubah menjadi nilai produktivisme. Nilai-nilai kolektivitas, sejarah, dan pola pikir kritis dibongkar pelan-pelan, digantikan oleh logika efisiensi dan kompetisi.

"Mahasiswa saat ini seolah dikondisikan hidup dalam sifat individualis. Karena semangat kolektivitas tidak terjalin karena mahasiswa tidak terbiasa untuk berkumpul. Secara fisik memang hanya gedungnya yang diubah, tapi dibaliknya ada semangat untuk menghancurkan nilai-nilai kultural Gelanggang Mahasiwa," Ucap Dani, seorang Mahasiswa Filsafat UGM yang turut mengamati dinamika Gelanggang Mahasiswa.

GIK Bukan 'Gelanggang'

"Mereka tetap enggak pernah mempercayai bahwa GIK itu gelanggang dan juga ya mereka memandang itu sebagai hanya ruang yang bisa dipakai saja dan akupun sangat setuju dengan itu mungkin kayak gitu.." Ujar Mas Kobe, ketua FORKOM UGM.

Bagi UKM, GIK bukanlah bangunan Gelanggang. Gelanggang Inovasi Karya yang berdiri saat ini tidak akan bisa menggantikan Gelanggang Mahasiswa yang dulu. Tidak ada lagi semangat kolektivitas dan aktivisme di dalam GIK. Kini, hanya ada komersialisasi dan privatisasi yang kuat di dalam GIK. Sungguh ironis, Gedung yang dibangun dengan meruntuhkan basis aktivisme dan kreativitas mahasiswa justru dialihfungsikan sebagai ladang kapitalisme universitas.

Berbagai keluhan hadir dari kalangan mahasiswa, salah satunya sulitnya akses untuk peminjaman ruangan di GIK. GIK dinilai terlalu diprivatisasi dan dikomersialisasi dari mahasiswa. Gedung yang berpotensi menjadi public space gratis dan terbuka selama 24 jam, justru difungsikan untuk membuka tenant makanan dan kafe. Mahasiswa seolah harus turut membayar untuk menikmati fasilitas yang seharusnya menjadi hak dasar mereka. Mahasiswa bukan lagi subjek utama dalam kampus, tetapi direduksi menjadi objek pasar dan pengguna pasif.

Keluhan pertama disampaikan oleh Nayla, Mahasiswa Ilmu Hukum yang merasa kecewa adanya komersialisasi pada Gedung GIK.

"Tentunya aku merasa hal tersebut tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan merasa kecewa. Pertama karena harusnya bangunan yang ada di kampus tidak boleh dikomersialisasikan. Kedua, kalau kita lihat ke sejarahnya, GIK dan dulunya Gelanggang yang mana dulu membangun semangat aktivisme mahasiswa. Ketika Gelanggang yang dulu semangat mahasiswa sekarang malah dikomersialiasasikan tentunya bukanlah hal yang baik dan benar," Ujar Nayla.

Keluhan ini disampaikan salah satunya oleh Afriel, Mahasiswa Ilmu Komunikasi yang turut tergabung dalam UKM Renang UGM. Afriel menyebutkan bahwa fasilitas yang diberikan kepada UKM Renang kala melakukan pertemuan atau rapat masih belum maksimal.

"Waktu itu kami melakukan pertemuan di Gedung GIK, Ruang C1004. Yang diberikan ternyata hanya ruangan kosong, tanpa meja, kursi, atau bahkan tikar. Kami jadi harus membawa tikar sendiri dan membawa proyektor sendiri untuk rapat kami. Peminjaman untuk rapat seperti itu juga terbatas hanya 8 jam per bulan untuk setiap UKM," Ujar Afriel.

Keluhan yang disampaikan oleh Afriel turut memperjelas keluhan disebutkan oleh FORKOM UGM. FORKOM UGM menyebutkan bahwa GIK UGM bukanlah tempat yang sesuai bagi UKM dari segi fasilitas maupun dinamika. Hal ini karena tidak semua UKM sesuai untuk berdinamika di dalam GIK, misalnya UKM sekber Olahraga tentunya tidak dapat berlatih di dalam GIK. Beberapa UKM pun sudah dapat mengakses beberapa fasilitas GIK, tetapi belum maksimal karena keterbatasan waktu operasional dan jumlah ruangan.

Koordinator Sekretaris Sekber Seni, Vari, menyampaikan bahwa secara keseluruhan GIK belum memenuhi kebutuhan mahasiswa akan ruangan. Beberapa UKM, khususnya Sekber Seni, justru bingung akan menggunakan ruangan GIK untuk apa. Hal ini karena GIK pun hanya menyediakan ruangan yang berisi kursi dan AC.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Primaswolo Sudjono

Tags

Rekomendasi

Terkini

Perlu 7 Pilar Fondasi Sistematik Kinerja Aset

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:20 WIB

Lagi, Dr Sihabul Millah Pimpin IIQ An Nur Yogyakarta

Sabtu, 20 Desember 2025 | 20:30 WIB

UMJ Perlu Melangkah ke Universitas Kelas Dunia

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:15 WIB
X