Lynn awalnya ragu bercerita padaku. Dia trauma pada orang-orang yang mengasihani, atau ngeri ketika mendengar tentang penyakit kejiwaan. Rasanya sangat tidak nyaman. Mereka yang menghakimi dengan landasan ‘kata orang’ dan ‘kata google’  itu sangat kejam.
Baginya, terkadang lebih baik tidak ada yang tahu dari pada dihakimi sepihak. Sebab mereka tidak pernah tahu rasanya dirongrong perasaan sedih tanpa sebab, tidak tidur berhari-hari, dan tertawa terbahak-bahak lalu seketika menangis berjam-jam setelahnya.
“Aku enggak suka, beberapa orang justru merasa bipolar itu keren, padahal enggak! Ini bukan hal yang patut dibanggakan atau buat pamer di media sosial,†tegasnya.
Perlu Didukung Tulus, Bukan Dikasihani
Dari cerita Lynn, aku memutuskan bertemu seorang psikolog di salah satu Klinik Konseling Islam di Jogja. Aku mendatangi Nur Fitriyani Hardi di ruangannya di suatu sore. Perempuan lulusan S1 Psikologi Universitas Negeri Makasar, dan S2 UGM jurusan Psikologi Profesi Klinis itu sebelumnya bekerja di salah satu puskesmas kota Jogja.
Kami mendiskusikan perihal bipolar temanku, dia membenarkan tentang gangguan bipolar yang dialami Lynn. Pola depresi mereka berupa kesedihan mendalam, kehilangan tenaga, mudah tersinggung, bahkan ekstremnya adalah berkeinginan untuk mengakhiri hidup.
“Saat fase manik, orang bipolar sering kali terlalu aktif, dia bisa tidak tidur semalaman, bahkan berhari-hari, terlalu bersemangat, dan tingkat percaya dirinya tinggi,†kata Fitri terkait ciri-ciri kontradiksi bipolar, yang ironinya bisa berubah sangat cepat.