Krjogja.com - Dunia literasi menjadi dunia yang tidak bisa dianggap remeh. Berbagai macam tulisan muncul setiap harinya. Mulai yang ditulis di atas kertas sampai media online. Banyak pula platform yang bisa dijadikan halaman tulisan kita.
Meski kini banyak media online sebagai tempat menulis, tapi nyatanya novel masih menjadi buku yang digemari. Puluhan penulis asal Indonesia berhasil menciptakan novel yang cukup fenomenal.
Mereka bukan hanya berhasil menciptakan novel yang berkali-kali dicetak ulang. Tapi juga menjadi inspirasi bagi anak muda yang ingin menelurkan karya dalam sebuah novel.
[crosslink_1]
Salah satu novelis itu adalah Dianing Estihana yang menulis novel fiksi berjudul 'Wisomongso'. Dianing memang punya nafas proses kreatif panjang. Bagaimana tidak? Ia menulis 'Wisomongso' ini selama empat tahun, di mana ia bergulat hebat dengan penyakit lambung akut sekaligus juga serangan OCD.
Dia mencari lalu mendapatkan inspirasi dari tempat-tempat yang dinilai tidak wajar oleh keluarga dan orang-orang yang mengenalnya. Dianing membutuhkan daya untuk menyerap energi yang mampu memberi gambaran singkat bagaimana kehidupan orang-orang Jawa di masa lalu—yang kemudian dikaitkan dengan khayalan banyak makhluk lain yang ditakdirkan dekat dengan kehidupan langit dan budaya Jawa.
Dianing juga mengunjungi tempat-tempat yang dianggap angker. Dia mengerjakan naskah di kuburan para leluhur. "Di sanalah aku mendapat ‘petunjuk’ tentang jejak-jejak masa lalu. Risetku melibatkan batin sehingga aku seolah dituntun untuk menuliskan kisah ini," kata gadis kelahiran Yogyakarta 18 Juli 1989 ini.
Tentang Wisomongso
Sedikit bentuk perwujudan dari Wisomongso yang dianggap penulis novel ini sebagai pintu makhluk berakal mengenali kebesaran Tuhan yang tak terbatas. Kenyataan yang terpaku pada penciptaan beberapa bumi lain di atas pegunungan Jawa dan persis disejajarkan di bawah Kahyangan para Dewa.
Dianing tidak yakin ada dalang yang berani membuat ‘jalur baru’ di luar paten sejarah pewayangan. "Mereka tidak pernah menjelaskan bagaimana seluk beluk kahyangan dan apa saja yang disediakan Tuhan di sana termasuk pemetaan wilayahnya," katanya.
Menurut Dianing, Wisomongso berani menggelantar jalur baru itu. Ia menggunakan kebebasannya, dengan kata lain menggunakan hak merombak kahyangan. Hal pertama yang penulis lakukan adalah membagi wilayah atau area kahyangan yang mungkin tidak terukur. Sejatinya tak ada yang tahu berapa luas langit. Tak ada yang tahu berapa galaksi yang di sana.
Wisomongso menyepakati bahwa langit tidak punya batas dan justru aneh jika tidak ada makhluk berakal yang hidup di sana. Waham itulah yang penulis suntikkan ke pembuluh darah Wisomongso. Dia sendiri merasa menggemban tugas untuk menggubah karangan yang mengalami produksi wacana sekaligus dipatenkan kebenarannya.
Langit memang tidak terbatas tetapi penulis yakin bahwa kahyangan layak mendapat pembagian wilayah seperti halnya tempat hidup makhluk berakal lainnya. Dengan senang hati penulis katakana bawah kahyangan memiliki bagian empat area: timur, barat, selatan, utara, dan tengah.
Tentu bagian-bagian itu terdiri dari negeri-negeri, pedesaan, pelabuhan, dan pusat perdagangan. Namun, penciptaan mata uang yang dilakukan para Raja Dewa menjadi masalah terpenting dalam peradaban mereka. Uang sumber petaka, melahirkan kerusuhan, dan puncaknya adalah penjajahan.
Kahyangan, seperti yang kita tahu adalah tempat tinggal para dewa meskipun dalam Wisomongso, sebutan ‘dewa’ hanya sebatas nama yang diberikan pada para makhluk penghuni pertama. Makhluk-makhluk yang tercipta dari api bernama Dewa Satajumunm yang mewariskan nama pertamanya pada keturunannya. Hingga kini dunia Wisomongso mengenal makhluk-makhluk yang diciptakan Tuhan dengan unsur api terbesar itu sebagai dewa, dan dewi untuk kaum perempuan.