"Dia bertanya kepada saya dan teman saya, lagu apa yang sedang disenangi anak muda Indonesia. Lalu saya ajak teman kuliah saya ke radio untuk memilih lagu. Kami suka menari, sebagai hobi, tampil di acara-acara komunitas," kata Alfira dalam wawancara dengan Radio National ABC, Minggu 25 Juni.
Pada tahun 2000 Alfira ke Yogyakarta untuk belajar tari tradisional di Institut Seni Indonesia (ISI) selama setahun. Kembali ke Sydney Alfira yang berdarah Irlandia dan Aceh mendapat permintaan lebih banyak untuk mengajar dan tampil di acara-acara.
Dia pun berhenti dari pekerjaannya mengajar bahasa Inggris untuk fokus menari.
Pada tahun 2006, perempuan kelahiran Perth ini ke Aceh untuk bekerja sebagai relawan membantu masyarakat pasca-tsunami. Di sana dia bertemu Murtala, seorang koreografer yang mengelola LSM dengan aktivitas pengajaran menari sebagai penyembuhan trauma akibat tsunami.
Murtala banyak melakukan eksplorasi pada Ratok Dueh, seni perkusi tubuh.
"Tapi berapa banyak pun orangnya, filosofi seni ini adalah untuk menjadi satu lagu." Menurut Alfira kesenian ini adalah tari sekaligus musik. "Menggunakan tangan dan tubuh untuk membentuk ritme dan menyanyi pada saat yang bersamaan," kata dia.
Murtala menambahkan di Aceh tidak ada kata tersendiri untuk tari dan musik. "Jadi tari duduk di Aceh sebenarnya bukan sekadar gerak tari, penari adalah sekaligus pemusik," kata Murtala.(*)