RIUH ribuan orang menyamarakkan tradisi nyadran Makam Sewu Wijirejo Pandak Bantul, Senin (22/5/2017). Meski sudah jadi agenda tahunan, tetapi acara itu punya magnet untuk mendatangkan ribuan wisatawan di Bantul dan DIY. Tradisi yang digelar menjelang datangnya Bulan Ramadan itu sudah dilakukan secara turun temurun sejak Panembahan Bodo.
Hingga kini tetap lestari kendati zaman makin modern. Kondisi itu jadi bukti bahwa nyadran Makam Sewu tidak sekadar tradisi, tetapi sudah menjadi kebutuhan. Kirab jodhang dan hubungan merupakan puncak dari serangkaian acara nyadran Makam sewu. Â
"Kami ingin menjadikan nyadran Makam Sewu jadi wisata religi," ujar Ketua Panitia Nyadran Makam Sewu Hariyadi.
Dalam acara itu juga dihadiri Kepala Dinas Kebudayaan Bantul, Sunarto SE MM, Kepala Bidang Sejarah, Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul Drs Dahroni MM, Lurah Wijirejo Murtadho. Â
Adanya tradisi tersebut merupakan sebuah cara melestarikan ajaran baik yang diwariskan Panembahan Bodo. Dijelaskan , sebenarnya kirab jodhang dan gunungan merupakan kreasi baru agar nyadran Makam Sewu tambah menarik. Akhirnya sejak tahun 2000, nyadran Makam Sewu dilengkapi dengan kirab budaya.
"Kami jadikan nyadran Makam Sewu ini sebagai wisata religi dan berhasil. Setiap kali digelar ada ribuan orang datang, rangkaian acara tidak hanya sehari," ujar Hariyadi. Inti dari kegiatan itu merupakan perwujudan doa kepada leluwur atau orang yang sudah meninggal.
Sehingga manusia yang sekarang masih hidup selalu ingat akan kamatian. Terkait dengan sejarahnya, Hariyadi mengatakan, Nyadran Makam Sewu ini sudah ada sejak Panembahan Bodo yang merupakan murid dari Sunan Kalijaga. Kirab dimulai dari Desa Wijirejo Pandak menuju Dusun Pedak lokasi Makam Sewu berada.
Kepala Dinas Kebudayaan Bantul, Sunarto SH MM mengatakan, perlunya dijaga sebuah tradisi ditengah masyarakat. Sehingga generasi bangsa ini tidak tercerabut dari akarnya. Karena budaya punya arti penting sebagai modal membangun bangsa.(Roy)