BANTUL,KRJOGJA.com - Bathara Kala sangat kecewa. Pemimpin pasukan Baju Barat tersebut merasa dikhianati raja dewa Sang Hyang Bathara Guru dan para dewa lainnya. Hal itu karena wanita pujaan hatinya, Dewi Sri Sekar, ternyata sudah dijodohkan dengan Bathara Wisnu.
Situasi ini menjadikan Bathara Kala sangat murka. Segera ia menuju Taman Sriwedari, tempat Sri Sekar berada. Ia ingin memaksa sang dewi menjadi istrinya. Tapi, Sri Sekar menolak. Bathara Kala yang kalap lantas membunuh adik Sri Sekar, Suwanda dan Soka. Bahkan, wadbalaya Bathara Kala dari Selamangumpeng ikut mengamuk yang kemudian bisa diredam Bathara Wisnu.
Suasana yang tintrim dan menegangkan inilah inti cerita dari lakon 'Sri Tumurun' yang dibawakan Yayasan Siswa Among Beksa dalam Pergelaran Wayang Orang Klasik Gaya Yogyakarta di Pendapa Akademi Komunitas Yogyakarta, Jalan Parangtritis Km 4,5 Sewon Bantul, Senin (10/4/2017) malam. Pementasan ini masih akan digelar hingga Rabu (12/4/2017) mendatang menghadirkan enam sanggar seni tari klasik yang ada di Yogyakarta.
"Pada sejarahnya, wayang orang klasik gaya Yogyakarta ini lahir dan berkembang di dalam Kraton Yogyakarta. Seiring waktu, akhirnya seni tradisi klasik ini juga berkembang pesat di luar benteng kraton. Lahirnya wayang orang di dalam kraton tidak lepas dari sarana pembentukan karakter sehingga bukan cuma semata tontonan," tutur Kepala Bidang Adat dan Seni Tradisi Dinas Kebudayaan DIY Setyawan Sahli sela kegiatan.
Upaya pembentukan karakter melalui pergelaran wayang orang ini menurut pria yang akrab disapa Iwan tersebut, karena dalam cerita yang disajikan berisi banyak pilihan bagi manusia apakah ingin menjadi orang baik atau jahat. Sebab, banyak karakter tokoh yang dihadirkan bisa menjadi teladan dalam kehidupan keseharian manusia.
"Karena itu sudah menjadi tanggungjawab dan kewajiban pemerintah untuk menghidupkan kembali pentas wayang orang sebagai tontonan yang sarat tuntunan sekaligus media pembelajaran dan pendidikan bagi masyarakat" kata Iwan.
Terpisah Kepala Seksi Seni Tradisi Klasik Dinas Kebudayaan DIY Purwiani mengatakan pementasan ini menjadi upaya untuk memetakan potensi wayang orang di Yogyakarta melalui keberadaan sanggar seni klasik. Sehingga ke depan akan lebih mudah dalam upaya pembinaan.
Cerita 'Sri Tumurun' sendiri berlanjut saat Dewi Sri Sekar diminta turun ke dunia dan dilahirkan kembali menjadi Dewi Citrawati. Sementara Raden Suwanda menitis ke tubuh Bambang Sumantri dan Raden Soka menjelma menjadi Bambang Sokrasana.