Krjogja.com - YOGYA - Di tengah gegap gempita pertunjukan seni yang kerap berpijak pada bentuk dan genre, Fitri Setyaningsih justru mengajak kita masuk ke wilayah yang lebih sunyi, lebih dalam, dan lebih subtil: debu dan tubuh.
Karya terbarunya, 'Deru Debu Dari Dasar', yang akan dipentaskan pada 21–22 Juni 2025 di Sarang Building 1, Bantul, Yogyakarta, bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah ziarah, ritual, dan permenungan tentang tubuh—baik tubuh manusia maupun tubuh gunung.
Baca Juga: Bank BPD DIY Pastikan Penyaluran TPG ASN 2025 Berjalan Lancar
Selama tiga tahun terakhir, Fitri menziarahi gunung-gunung tua di Jawa. Ia menyebut perjalanannya sebagai “laku”—bukan riset dalam pengertian akademik, bukan pula observasi ilmiah, tapi sebuah pengalaman tubuh yang sepenuhnya dilakoni.
Dalam proses itu, tubuh Fitri menjadi media sensori: merekam, mengalami, dan kemudian memproduksi tafsir. Ia tidak datang membawa teori, melainkan kerentanan dan keterbukaan.
“Rendah hati seperti debu, rendah diri seperti abu,” tulis Fitri dalam siaran persnya, Selasa (11/6).
Baca Juga: Perumahan Sapphire Mansion Disoal, Warga Karangrau Menuntut Keadilan!
Kutipan itu menjadi semacam mantra pembuka yang menggambarkan sikap artistiknya—sebuah kerendahan hati dalam membaca alam, dan keberanian untuk menjadi debu yang nyaris tak terlihat namun hadir di mana-mana.
Gunung sebagai Tubuh Perempuan
Deru Debu Dari Dasar adalah bagian dari Trilogi Cincin Api, yang menggambarkan relasi tubuh dengan gunung, bukan sebagai objek luar, tapi sebagai bagian dari tubuh itu sendiri.
Fitri memandang gunung bukan dengan cara maskulin yang biasa mengagungkan letupan dan kekuatannya, melainkan dari sisi lain: kehamilan, siklus, dan potensi melahirkan.
Gunung, dalam pandangan Fitri, adalah tubuh perempuan. Ia mengandung kehidupan dan juga menyimpan bahaya. Tapi lebih dari itu, ia memiliki bahasa sendiri yang hanya bisa didengar jika kita cukup diam. Karya ini bukan sekadar performans, tapi percakapan sunyi antara tubuh dan bumi.
Alih-alih menggunakan narasi verbal atau dramatik, Deru Debu Dari Dasar mengandalkan debu—secara harfiah. Debu-debu yang dibawa langsung dari gunung-gunung tua di Jawa akan menjadi elemen utama pertunjukan. Di tangan Fitri, debu bukan simbol kehancuran, tapi saksi bisu peristiwa-peristiwa alam dan spiritual yang tak terkatakan.
Bersama para kolaboratornya—Rendra Bagus Pamungkas, Luluk Ari Setia, dan Adi Putra—Fitri merancang sebuah pengalaman multisensori. Ruang Sarang Building yang memungkinkan penonton menyaksikan dari atas menjadi bagian dari koreografi: bukan hanya gerak tubuh, tapi juga lanskap tubuh.
Pertunjukan yang Tak Bisa Diklasifikasikan
Apakah ini tari? Teater? Instalasi seni? Deru Debu Dari Dasar menolak dikategorikan. Ia seperti lava lambat yang membentuk dirinya sendiri, mengukir lanskap baru dalam dunia pertunjukan.