Filosofi ini universal, tentang bagaimana keberagaman melahirkan keindahan. Selain penampilan utama oleh Angklung Cendrawasih, acara juga akan menampilkan kolaborasi lintas komunitas dan keyakinan bersama Angklung Gereja Kristen Indonesia San Jose dan Manshur Angklung yang didatangkan dari Indonesia.
“Latihan kami baru sekitar 50 persen, tapi semangatnya 100 persen,” ujar Yuli Grimes, anggota Cendrawasih.
Pihaknya akan membawakan empat lagu sendiri dan sisanya bersama komunitas lain. Rasanya seperti menenun irama bambu menjadi jembatan lintas iman dan bangsa.
Mengusung tagline “From Cultural Heritage to Legacy,” World Angklung Day diharapkan menjadi simbol komitmen untuk menjaga warisan budaya Indonesia agar tetap hidup dan relevan.
“Budaya hanya akan abadi jika dimainkan, dijaga dan dikembangkan. Angklung bukan sekadar alat musik, ia adalah bahasa harmoni yang menyatukan dunia," ucapnya
Ari berharap gema angklung tidak berhenti di San Francisco, melainkan menggema ke berbagai penjuru dunia. Ia ingin setiap November, dunia mendengar bunyi bambu Indonesia.
“Kami menyebutnya mengangklungkan dunia, menduniakan angklung.” selorohnya.
Gelaran ini bukan hanya konser musik, tetapi juga bentuk diplomasi budaya Indonesia di kancah global yang mengedepankan nilai harmoni, gotong royong dan keindahan dalam keberagaman.
Di tengah dunia yang sering terbelah. Denting bambu dari Nusantara diharapkan menjadi pengingat, perbedaan nada justru dapat menciptakan keindahan yang satu. (Obi)