Krjogja.com - BANTUL - Upaya membaca ulang warisan budaya bersama di Asia Tenggara kembali menemukan momentumnya di Yogyakarta.
UNESCO Jakarta, dengan dukungan Temasek Foundation, menggelar program “Embracing Shared Heritage through Performing Arts: Intercultural Collaboration Skills Development across Indonesia, Malaysia, and Singapore” pada 12–13 Desember 2025 di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), Bantul.
Baca Juga: Film 'Timur' Gelar Special Screening di 17 Kota, Debut Penyutradaraan Iko Uwais Dipuji
Program ini bukan sekadar lokakarya seni pertunjukan. Ia menjadi ruang temu lintas negara bagi para seniman untuk menelisik ulang irisan budaya yang selama ini hidup berdampingan, berpindah, dan berkembang melampaui batas administratif negara.
Dirancang untuk memperkuat kapasitas seniman Asia Tenggara, program ini mendorong peserta memahami, merawat, dan mengembangkan warisan budaya bersama melalui pendekatan seni pertunjukan yang kontekstual dan kolaboratif.
Fokus tahun ini diarahkan pada pertemuan budaya, nilai-nilai tradisi, serta eksplorasi kreatif di tengah dinamika sosial dan seni kontemporer.
Baca Juga: Ratusan Anak Meriahkan Gelar Karya Koreografi Tari Anak
Salah satu tema utama yang diangkat adalah Budaya Peranakan, yang dipandang sebagai contoh paling nyata dari budaya hasil perjumpaan lintas komunitas di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Chief of Culture Sector UNESCO Regional Office Jakarta, Moe Chiba, menilai masih banyak praktik budaya yang kerap diklaim secara sepihak, meskipun sejatinya lahir dan tumbuh lintas wilayah.
“Sekarang banyak budaya yang diklaim sendiri-sendiri, padahal sebenarnya bisa dirayakan bersama. Irisan budaya di berbagai negara itu sangat banyak, dan seni pertunjukan memberi ruang untuk merayakan keberagaman tersebut,” ujar Moe Chiba saat membuka kegiatan.
Ia menegaskan, UNESCO tidak memposisikan diri sebagai ahli seni pertunjukan. Karena itu, proses pendampingan sepenuhnya dipercayakan kepada para praktisi dan mentor.
“Kami ingin program ini menjadi ruang tumbuh bersama, bukan sekadar transfer pengetahuan satu arah,” tambahnya.
Workshop ini mengajak peserta membaca sejarah, simbol, nilai, hingga narasi keseharian budaya Peranakan sebagai sumber inspirasi penciptaan karya.
Mentor program, Melati Suryodarmo, menekankan bahwa Peranakan bukan sekadar identitas historis, melainkan ruang refleksi atas persoalan identitas, diaspora, hingga pengalaman diskriminasi yang kerap luput dibicarakan.