UNESCO Hadirkan Ruang Temu Seniman Asia Tenggara di Yogya, Budaya Peranakan Jadi Titik Berangkat

Photo Author
- Minggu, 14 Desember 2025 | 13:55 WIB
Embracing Shared Heritage through Performing Arts: Intercultural Collaboration Skills Development across Indonesia, Malaysia, and Singapore” di PSBK Bantul Yogyakarta (Istimewa)
Embracing Shared Heritage through Performing Arts: Intercultural Collaboration Skills Development across Indonesia, Malaysia, and Singapore” di PSBK Bantul Yogyakarta (Istimewa)

“Budaya Peranakan masih hidup di masing-masing negara dengan latar sejarah yang berbeda. Ini menjadi pemantik agar kita tidak melihat identitas secara sepihak, tetapi memahami perbedaannya dengan lebih jujur,” ujarnya.

Menurut Melati, lokakarya ini dirancang sebagai simulasi interaksi yang cair, tanpa aturan kaku. Perbedaan pandangan justru diperlakukan sebagai bagian dari proses belajar.

“Kalau tidak bisa sepakat juga tidak apa-apa. Yang penting ada metode memberi ruang, dengan toleransi dan cara menerima perbedaan secara positif,” katanya.

Hari pertama kegiatan dibuka dengan sambutan Kepala Dinas Kebudayaan DIY Dian Lakshmi Pratiwi, yang menilai program ini sejalan dengan upaya pemerintah daerah dalam memperkuat ekosistem seni dan praktik kebudayaan berkelanjutan.

Sesi inti kemudian diisi oleh dua mentor utama: Melati Suryodarmo dan Ugoran Prasad. Melati membahas proses kreatif berbasis tubuh sebagai ruang memori dan pengalaman, termasuk pendekatan diaspora dalam membaca ulang identitas.

Sementara Ugoran Prasad mengulas bahasa Peranakan sebagai ruang pertemuan budaya, dengan studi kasus karya Cica oleh Cyntha Hariadi, serta pendekatan dramaturgi dalam seni pertunjukan.

Pada sesi siang, Halim HD mengajak peserta membaca sejarah seni pertunjukan Indonesia, praktik kuratorial, serta tantangan ekosistem seni—mulai dari keberlanjutan, dokumentasi, hingga jejaring kerja. Diskusi kemudian berlanjut dalam pembagian kelompok lintas disiplin.

Program ini melibatkan 91 peserta dari Indonesia yang berasal dari berbagai disiplin—musik, tari, teater, hingga produksi panggung—termasuk seniman disabilitas sebagai bagian dari komitmen inklusivitas.

Taufik Rahmadi dari Teater Braille mengaku tak menyangka bisa terlibat dalam program lintas negara ini.

“Selama ini stereotipnya kami hanya dekat dengan musik. Di sini kami bisa mengeksplorasi seni peran dan bekerja bersama secara setara, hanya metodenya yang berbeda,” ujarnya.

Ia mencontohkan, pembacaan naskah dilakukan melalui gawai dengan fitur pembaca layar, menggantikan teks cetak yang digunakan peserta lain.

Program ini telah berjalan sejak September 2025, menjangkau sekitar 180 seniman dan 300 mahasiswa seni pertunjukan dari tiga negara. Rangkaian kegiatan dimulai dari webinar hingga lokakarya tatap muka, dengan Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan langsung pertama.

Ke depan, lokakarya serupa akan berlanjut di Singapura dan Malaysia. Dari seluruh rangkaian tersebut, masing-masing negara akan memilih sepuluh seniman untuk terlibat dalam produksi akhir seni pertunjukan lintas negara yang direncanakan dipresentasikan pada Oktober 2026.

Melalui proses panjang ini, UNESCO berharap seni pertunjukan dapat menjadi medium yang merepresentasikan irisan budaya Asia Tenggara—bukan sebagai klaim sepihak, melainkan sebagai ruang refleksi, dialog, dan keberagaman yang inklusif. (*)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Ary B Prass

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ratusan Anak Meriahkan Gelar Karya Koreografi Tari Anak

Minggu, 14 Desember 2025 | 13:00 WIB

'Penelanjangan Drupadi' Jadi Pembelajaran Lewat Tari

Minggu, 14 Desember 2025 | 08:40 WIB

Sembilan Negara Ikuti Jogjakarta Karawitan Festival

Jumat, 5 Desember 2025 | 08:27 WIB

Obah Bareng untuk Anak Sedunia

Minggu, 23 November 2025 | 12:18 WIB
X