YOGYA, KRJOGJA.com — Industri ekonomi dan perpolitikan Indonesia tak pernah habis menuai sorotan dari masyarakat. Polemik ketertindasan, penguasaan, dan ketimpangan sosial, seakan menjadi magnet bagi kritik para seniman.Â
Kondisi ini pula yang melatarbelakangi Muhammad Shodiq Sudarti menyutradarai pementasan Indonesia Jangan Menangis, Sabtu (23/11/2019) malam.
Pertunjukan lelakon karya Putu Wijaya ini melebur dalam setiap gerak pemain teater SABA Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan durasi sekitar dua jam, mereka sukses memerankan cerita tentang keresahan seorang seniman terkait nasionalisme dan cinta keluarga.Â
Shodiq yang ditemui setelah pementasan memberikan sudut pandang lain terkait cerita yang diangkatnya. Masih dalam balutan kostum dan make-up panggung, pria asal Kulonprogo itu menegaskan bahwa dalam sebuah ideologi apa pun, kapitalisme pada akhirnya bisa merespon dan memanfaatkan itu semuanya. “Baik itu kekerasan seksual, ras, konflik agama, pada akhirnya kapitalisasi dengan cerdasnya hadir, dan memanfaatkan seluruh permasalah di negeri ini,†tuturnya.Â
Dalam kondisi tersebut, Shodiq melihat adanya suatu kefanaan dari sebuah kekuasaan. Kuasa itu tidak benar-benar nyata dan hadir, namun seperti menjadi penggerak bagi semua hal, termasuk perasaan nasionalisme dan cinta. Sebagaimana terpapar dalam naskah dan pementasan, teater diawali dengan lakon seniman yang berkonflik dengan istrinya sebab dia tersibukkan dengan aktivitas nasionalismenya. “Saya ingat perkataan Bung Karno: Saya mencintai keluargaku, saya mencintai saudara-saudaraku tapi saya lebih mencintai negaraku,†katanya.Â
Di tahap ini, Shodiq memberikan pandangan bahwa politik merasuk ke dalam seluruh lini kehidupan manusia, tak terkecuali. Dia menuturkan, mencintai negara bisa berarti kita kehilangan waktu untuk bertemu anak di pagi hari, berbicara dengan seorang istri, dan itu akan menjadi lebih sulit bagi seniman. Â
“Jangan-jangan, kita sedang salah mengartikan cinta,†ungkap pria yang telah terjun di dunia seni sejak tahun 2000 itu. “Jangan-jangan kita berpikir bahwa mencintai artinya kita memberikan seluruh ruang pada orang yang kita cintai,†ungkapnya.
Sedangkan dalam perspektifnya, ketika kita mencintai, kita tidak harus menuntut orang lain untuk melakukan hal yang sama seperti yang kita berikan. Di akhir perbincangan, Shodiq yang masih sesekali disambangi rekannya itu berpesan untuk jangan pernah kita berpamrih ketika kita sudah mencintai.Â