seni-budaya

'Pohon Hayat' di ARTJOG 2025 Simbol Hidupnya Amalan Seni yang Berkelanjutan

Sabtu, 21 Juni 2025 | 21:30 WIB
Opening Ceremony ARTJOG 2025 Heri Pemad menyerahkan cenderamata kepada Sunaryo (Istimewa)

Krjogja.com - YOGYA – Di tengah riuh pertunjukan dan percakapan estetik, ARTJOG 2025 dibuka dengan sebuah gestur simbolik: penyerahan Pohon Hayat kepada maestro seni rupa, Sunaryo.

Bukan sekadar cenderamata, Pohon Hayat menjelma sebagai lambang dari sesuatu yang lebih besar—sebuah amalan seni yang tumbuh, menyerap nilai, dan memberi napas panjang pada kehidupan kultural Indonesia.

Baca Juga: Gunungkidul Siap Gelar Porda XVII, 'Walang' Jadi Maskot Seluruh Cabor

Dengan tema 'Motif: Amalan', ARTJOG 2025 bukan sekadar pameran visual, melainkan pernyataan kolektif bahwa seni bukan milik segelintir orang atau ruang eksklusif. Ia adalah denyut nadi yang menyatu dengan masyarakat, dengan dunia, dan dengan masa depan. Bertempat di Jogja National Museum, festival seni rupa kontemporer ini akan berlangsung hingga 31 Agustus 2025.

Kurator tamu, Hendro Wiyanto, dalam sambutannya menggugah pemikiran: “Karya seni bukan imajinasi kosong, melainkan keyakinan estetika dari sebuah tindakan.” Di tengah berbagai tekanan zaman, para seniman, katanya, tetap menenun niat baik melalui medium yang mungkin tak kasat mata, namun berdampak nyata. Seni adalah praktik, bukan pelarian. Ia adalah kritik, bukan kosmetik.

Orasi budaya dari Garin Nugroho menguatkan gagasan itu. “Sebuah bangsa yang tidak menghidupi galeri dan museum akan melahirkan para pemimpin yang tak memahami konsep ruang dan waktu,” tegasnya. Seni, dalam pandangan Garin, adalah alat navigasi sosial—ia menata perasaan, menciptakan ruang refleksi, dan menumbuhkan kesadaran akan kemanusiaan.

Baca Juga: 34 Tahun Konsisten Suarakan Lewat Karya Visual, Taman Safari Kembali adakan International Animal Photo & Video Competition

Tak lengkap bicara tentang amalan tanpa menyoroti para pewarisnya. Lewat penghargaan Young Artist Award (YAA) 2025, ARTJOG mengangkat tiga nama: Faelerie (Wonosobo), S. Urubingwaru (Kediri), dan Veronica Liana (Surabaya).

Mereka dipilih dari 16 seniman muda berdasarkan orisinalitas ide, medium yang dieksplorasi, dan relevansi terhadap tema. Generasi baru ini menunjukkan bahwa “amalan” bukan hanya sikap, tapi juga keberanian mengeksplorasi yang tak lazim.

Festival, Ekonomi, dan Masyarakat
Penegasan akan makna festival juga disampaikan oleh Sunaryo, tokoh yang menerima Pohon Hayat. “Seni tidak lagi eksklusif. Ia harus hidup di tengah masyarakat,” ucapnya dalam pidato pembukaan.

Baginya, ARTJOG adalah katalisator ekonomi kreatif dan wisata budaya. Seni bukan barang pajangan—ia bisa jadi penggerak perputaran ekonomi lokal, dan lebih jauh, jadi instrumen demokratisasi kebudayaan.

ARTJOG 2025 bukan sekadar galeri visual. Selama perhelatan, pengunjung bisa mengikuti program seperti Exhibition Tour, Meet the Artist, perform•ARTJOG, hingga ARTJOG Kids dan Love ARTJOG. Tahun ini, ada pula format baru: Special Project, Spotlight, dan The Others Lab—program yang menjanjikan perspektif baru atas wacana seni kontemporer.

Dan jika malam hari masih terasa hampa, panggung ARTJOG menyuguhkan pertunjukan musik dari Batavia Collective, menegaskan bahwa seni itu multispektral: suara, cahaya, wacana, dan gerak—semuanya hadir.

ARTJOG 2025 – Motif: Amalan tidak hanya menampilkan karya, tetapi menyalakan wacana. Pohon Hayat bukan hanya lambang, tapi janji—bahwa seni akan terus tumbuh, menebar akar, dan menjadi pohon rindang bagi siapa saja yang mencari makna, keindahan, dan harapan.

Halaman:

Tags

Terkini

Ratusan Anak Meriahkan Gelar Karya Koreografi Tari Anak

Minggu, 14 Desember 2025 | 13:00 WIB

'Penelanjangan Drupadi' Jadi Pembelajaran Lewat Tari

Minggu, 14 Desember 2025 | 08:40 WIB

Sembilan Negara Ikuti Jogjakarta Karawitan Festival

Jumat, 5 Desember 2025 | 08:27 WIB

Obah Bareng untuk Anak Sedunia

Minggu, 23 November 2025 | 12:18 WIB