Krjogja.com - YOGYA - Dari bengkel bunyi hingga parade suara bising, GAUNG 2025 kembali membunyikan denyut musik elektronik dan eksperimental di berbagai sudut Yogyakarta.
Lebih dari sekadar festival, GAUNG adalah ruang belajar, ajang eksplorasi, dan perayaan musik masa kini yang menyentuh banyak lapisan—mulai dari praktisi pemula, penggiat kolektif, hingga peneliti suara.
Baca Juga: Mobkas Kian diminati, Ini Kemudahan dari Astra Financial dan OLXmobbi di GIIAS 2025
Tahun ini, GAUNG tampil sebagai rangkaian lintas bulan dengan dua program utama yang berpuncak di bulan Agustus: SALON GAUNG dan GAUNG GUMAUNG. Keduanya menawarkan pendekatan edukatif dan performatif terhadap dunia audio, dengan semangat kolaborasi lintas kolektif dan disiplin.
Diselenggarakan pada 7–10 Agustus 2025 di berbagai ruang alternatif seperti Garasi Performance Institute, Galeri Lorong, dan Komunitas Gayam 16, SALON GAUNG fokus pada pengembangan kapasitas produksi musik dan teknik suara.
Empat lokakarya ditawarkan—tiga di antaranya terbuka untuk umum. Salah satu yang paling menarik adalah Basic Sound Engineering bersama Lauren Squire (OK EG / Naarm), hasil kerja sama dengan Liquid Architecture (Australia).
Baca Juga: Tim Peneliti UPNVY Gelorakan Literasi Digital Komunikasi Hati Cegah Cyberbullying
Lokakarya berdurasi tujuh jam ini membekali peserta dengan keterampilan teknis dasar tata suara—dirancang inklusif untuk siapa saja, tanpa latar belakang sebelumnya.
“Masih sedikit perempuan di Indonesia yang bekerja di ranah sound engineering. Lewat ruang belajar ini, kami ingin memperluas akses dan kesempatan,” ujar Gatot Danar Sulistiyanto, komponis dan pemateri lokakarya lain bertajuk Spatial Audio Framework for Live Performance, saat jumpa media di VRTX Compound Space, Rabu (6/8).
Tak hanya teknis, SALON GAUNG juga menyorot wacana budaya dan inovasi musikal lewat lokakarya Post-Budots Beyond Borders bersama seniman Filipina similarobjects (Jorge Wieneke V). Budots—genre dansa rakyat dari Davao—digali sebagai praktik remix, ekspresi pekerja, hingga metafora futurisme Asia Tenggara.
Sementara itu, proses kolaboratif yang lebih intim hadir dalam lokakarya tertutup antara musisi elektronik Yennu Ariendra (Raja Kirik) dan seniman karawitan dari Komunitas Gayam 16, Sudaryanto. Bersama 10 peserta terpilih, mereka mengeksplorasi sintesis antara bunyi tradisional Jawa dan elemen elektronik eksperimental.
Selepas ruang belajar, GAUNG melanjutkan langkahnya ke fase selebratif melalui GAUNG GUMAUNG, festival musik elektronik dan eksperimental yang berlangsung 11–17 Agustus 2025. Programnya menyebar di 10 lokasi berbeda, menghadirkan performa musik, noise di dalam bus, parade, pesta klub, hingga sesi ambient di alam terbuka.
Yang menarik, GAUNG GUMAUNG bukan disusun oleh satu kurator tunggal. Sebaliknya, pendekatan kuratorial kolektif melibatkan banyak nama dari skena Jogja dan luar kota—termasuk Jumat Gombrong, Post Party Syndroma, Rekam Bergerak, dan lainnya.
Selama GAUNG GUMAUNG, jantung publik festival berdetak di GAUNG DISKOTEK, berlokasi di VRTX Compound Space. Di sini, musik tak hanya didengar, tapi juga dibicarakan dan diuji coba.