Krjogja.com - SRAGEN - Program pemerintah menjaga ketahanan pangan nasional lewat swasembada pangan mengalami kendala. Sejumlah petani di Sragen enggan menanam kedelai karena alasan ekonomi.
Hasil panen kedelai dinilai tidak sebanding dengan biaya operasional tanam. Padahal pemerintah sudah melakukan berbagai langkah seperti optimalisasi sumber daya lahan, penggunaan bibit unggul, dukungan sumber daya manusia yang kompeten serta penggunaan peralatan pertanian.
Baca Juga: Percepat Transformasi Pendidikan, Presiden Luncurkan Digitalisasi Pembelajaran
Semua itu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan produk impor kedelai. Salah satu petani Desa Peleman, Kecamatan Gemolong, Sragen, Mukhtarul Havid mengatakan, salah satu penyebab petani kurang berminat menanam kedelai karena hasil panennya sulit dijual dan kalah bersaing dengan kedelai impor yang lebih diminati perajin tahu dan tempe.
Sebagian besar perajin tahu dan tempe, ungkap Havid, menggunakan kedelai impor karena rasa dan tekstur yang dihasilkan jauh lebih baik. Kondisi ini membuat para petani kurang tertarik menanam kedelai lokal lantaran nilai ekonominya kurang menjanjikan. Selain itu, meski harga kedelai lokal lebih murah, namun permintaan dari pasar hampir tidak ada.
"Kedelai lokal harganya memang lebih murah, tapi tidak laku. Tidak hanya tahu dan tempe, susu kedelai juga rata-rata bahan bakunya pakai kedelai impor," ujarnya, Senin, (17/11/2025).
Baca Juga: Pameran Arsip dan Ilustrasi 'Petak Umpet Sastra Anak' dan Penguatan Peran Literasi Dini
Havid menjelaskan, sebagian besar petani di Sragen lebih memilih untuk menanam padi dan palawija seperti kacang hijau atau ketela. Selain masa tanam yang lebih pasti, harga padi di pasaran juga tinggi, sehingga akan memberikan keuntungan lebih cepat.
"Sekarang padi harga standarnya Rp 6.500 per kilogram, kalau kering bisa sampai Rp 8.000 per kilogram. Jadi kalau disuruh tanam kedelai, ya pasti pikir-pikir dulu," tandasnya.
Tak hanya soal hasil panen, efisiensi waktu tanam dan kepastian adanya pembeli jelas menjadi pertimbangan. Dengan kondisi harga sewa lahan yang semakin mahal, petani akan lebih memilih komoditas yang membuat mereka lebih cepat balik modal. Kedelai lokal tidak tahan lama untuk tahu dan tempe.
Suwolo, perajin tahu asal Kampung Teguhan, Kelurahan Sragen Wetan, Sragen mengungkapkan, dirinya saat ini lebih banyak menggunakan kedelai impor untuk produksi tahu rumahan.
"Sekarang yang terbanyak menggunakan kedelai impor, kedelai lokal cuma sekadar lewat. Kedelai lokal paling cuma dapat dua kresek (sekitar 1 kuintal), sebentar saja sudah habis,” katanya.
Menurut Suwolo, kedelai impor jauh lebih mudah diperoleh dan memiliki banyak pilihan. Sementara kedelai lokal stoknya sangat terbatas dan hanya tersedia musiman saat panen. Dari segi rasa, kedelai lokal sebenarnya lebih enak, namun produk yang dihasilkan tidak awet dan cepat basi.
“Kalau kedelai lokal, dua hari saja tahunya sudah mulai berbau dan basi. Tapi kalau impor, bisa tahan sampai tiga hari," jelasnya.