Desa Wukirsari Bangkit: Wariskan Batik Tulis Sejak Zaman Sultan Agung hingga Jadi Wisata Edukasi Modern

Photo Author
- Selasa, 21 Oktober 2025 | 21:10 WIB
Nur Ahmadi (berblangkon) tengah memaparkan materi. (Foto: M. Khoirul Imamil M)
Nur Ahmadi (berblangkon) tengah memaparkan materi. (Foto: M. Khoirul Imamil M)

KRJogja.com – BANTUL - Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, menegaskan komitmennya menjaga batik tulis sebagai warisan budaya bangsa yang adiluhung. Di tengah arus modernisasi, masyarakat Wukirsari tetap teguh mempertahankan tradisi membatik yang telah diwariskan sejak masa Sultan Agung pada tahun 1634.

Komitmen tersebut ditegaskan oleh Nur Ahmadi, penggerak desa wisata Wukirsari, saat membuka Workshop Jurnalisme yang digelar Indonesia Institute of Journalism (IIJ) bekerja sama dengan PT Astra International Tbk, Senin (20/10/2025).

“Kami ingin melestarikan batik tulis sebagaimana warisan Sultan Agung dulu,” ungkap Nur Ahmadi disambut tepuk tangan para peserta.

Baca Juga: Penghijauan 'New Home-Pass New Tree' Bupati: Sangat Berarti Bagi Pengembangan Kerajinan Bambu

Sekitar seratus jurnalis dari berbagai latar belakang—mulai dari pers kampus, media lokal hingga komunitas lintas generasi—hadir di pendopo ekowisata Wukirsari. Mereka mendengarkan dengan antusias kisah perjalanan panjang batik tulis yang telah mendarah daging dalam kehidupan warga.

Warisan Sultan Agung yang Tak Lekang Waktu

Sejarah membatik di Wukirsari berawal dari dawuh Sultan Agung agar masyarakat belajar membatik, yang semula hanya boleh dilakukan di lingkungan Kraton Mataram. Dari situ, lahirlah kreasi rakyat Wukirsari dengan motif-motif klasik seperti Sidoluhur, Pameluta, dan Wahyu Tumurun yang tetap lestari hingga kini.

“Bahkan sejak dalam kandungan, ibunya nyantik (membatik), anaknya ikut,” canda Juleha, salah satu pembatik senior di Wukirsari.

Baca Juga: Menengok “Four Nights Fever”, Teater Gadjah Mada yang Sulap Rumah Terbengkalai Jadi Ruang Seni Hidup

Hingga dekade 1980-an, warga Wukirsari masih menjadi buruh canting. Hasil karya mereka dijual ke juragan-juragan batik di kota besar. Namun, semuanya berubah setelah gempa besar melanda Bantul pada tahun 2006.

“Waktu itu banyak LSM masuk membantu kami. Dari situ kami mulai belajar mengelola batik sendiri,” kenang Somad, pembatik lainnya.

Berkat kolaborasi pemerintah, swasta, dan masyarakat, produksi batik tulis Wukirsari terus berkembang pesat. Pemerintah Kabupaten Bantul pun menjadikan membatik sebagai muatan lokal wajib di sekolah, agar anak-anak mengenal budaya sendiri sejak dini.

Wisata Edukasi Batik dan Ekonomi yang Tumbuh

Tak hanya menggerakkan ekonomi lewat penjualan batik, kini Wukirsari juga dikenal sebagai desa wisata dengan paket eduwisata membatik. Pengunjung dapat belajar langsung membatik dari para pengrajin, sekaligus membawa pulang hasil karya sendiri.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Primaswolo Sudjono

Tags

Rekomendasi

Terkini

Gelar Budaya 2025 di SMA N 1 Pundong

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:30 WIB

Decimal Fest 2025, Jembatan Bank BPD DIY Raih Gen Z

Minggu, 14 Desember 2025 | 06:42 WIB

3.393 PPPK Paruh Waktu di Bantul Dilantik

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:00 WIB
X