Orang Tanpa Gejala Covid-19, Fenomena Gunung Es

Photo Author
- Kamis, 7 Mei 2020 | 09:43 WIB
Gunung es, ilustrasi Photo by Ivan Chen on Unsplash
Gunung es, ilustrasi Photo by Ivan Chen on Unsplash

ORANG TANPA GEJALA (OTG) dapat  terjadi pada hampir semua penyakit infeksi, yaitu orang yang dalam tubuhnya ada agen penyakit, tetapi tidak ada gejala.Pada tahun 1970-an Jakarta menjadi pusat demam berdarah selain Surabaya.

Pemudik saat itu, terutama saat lebaran,  membawa virus ditubuhnya tetapi tidak sakit. Sampai di Yogyakarta pemudik itu  digigit nyamuk Aedes. Jadilah di Yogyakrta  ada kasus demam berdarah.

Pada zaman revolusi kemerdekaan, ibukota dari Jakarta pindah ke Yogyakarta. Penyakit yang ikut manusia ke Yogyakarta adalah Polio.  Di Yogyakarta ada KLB polio.

Hal itu mudah di terangkan dengan gambar penampakan gunung es. Gunung es yang didekat kutub itu yang tampak diatas air laut  hanya puncaknya yang kecil.  Dibawah permukaan air laut badan gunung es jauh lebih besar.  Gambarnya sebagai berikut :




-

Angka di dalam gambar sebagai contoh saja. Tiap penyakit infeksi berbeda angka- angka tersebut. Untuk Covid 19 belum ada angkanya.  Di puncak ada 1 pasien meninggal, di bawahnya ada 10 pasien sakit dengan gejala. Dibawah permukaan air ada populasi sangat besar yang tertular tetapi tidak sakit.

Untuk Covid 19 berapa jumlahnya, itu yang perlu diteliti. Tetapi melihat pengalaman di Wuhan, Korea, Italia, Amerika,  dan negara lain,  itu pasti puluhan orang  yang tertular hanya oleh satu orang penderita.

Perjalanan alamiah penyakit infeksi ada beberapa gejala. Dari tidak ada gejala (asimptomatik), ada gejala ringan sampai berat (simptomatik) . Gejala pada Covid 19 yang khas ada demam, batuk, dan diikuti sesak nafas.  OTG termasuk yang asimptomatik. Sejarah Yogyakarta sekarang dengan Covid 19, mengulang lagi sejarah polio dan demam berdarah.

Para pengambil kebijakan sibuk konsentrasi  yang dipuncak gunung es, yang dirawat  di Rumah Sakit. Pemberitaan media sosial  diarahkan ke Rumah Sakit. Padahal itu sudah jelas orangnya dan jelas hasil laboratoriumnya,  pasien sudah di ruang  isolasi sampai RT-PCR nya negatif  dua kali pemeriksaan. Dia tidak menularkan masyarakat di sekitarnya, tetapi akan menulari petugas Kesehatan menjadi OTG, yang jumlahnya terbatas. Biaya perawatan amat sangat mahal.

Bagaimana orang lain yang tertular sebelum masuk RS? Sudah menulari berapa orang? Itu yang harus dicari dengan tracing. Untuk menghentikan pandemi WHO dalam aksi nomor 2 adalah menemukan  kasus ditingkat komunitas, kalau disini di RT RW. Diperlukan kerjasama antara Puskesmas dengan warga  yang dipimpin RT RW.  Alat deteksi adalah Rapid Test IgM IgG. Kalau dua kali positif, segera di swab dua kali. Kalau RT PCR positif harus dikarantina (WHO aksi nomor 5). Kalau Rapid test positif dan RT PCR negatif,  ini yang diharapkan. Artinya masyarakat disitu sudah kebal terhadap Covid 19.

Catatan penting : untuk menghentikan pandemi peran warga, RT RW, dan Puskesmas dalam menemukan kasus baru sangat menentukan.

(Prof Dr dr Sutaryo, Natasha Yang dan  Lintang Sagoro)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: agung

Tags

Rekomendasi

Terkini

Akademisi Desak Pemerintah Tegas Atur Kental Manis

Senin, 15 Desember 2025 | 20:38 WIB

Lego Jadi Terapi Relaksasi untuk Orang Dewasa

Rabu, 26 November 2025 | 15:35 WIB
X